Sukses

Bea Masuk Dihapus Bikin RI Ganti Status Jadi Importir Kakao

Rencana pemerintah untuk menghapuskan tarif bea masuk impor biji kakao dari 5% menjadi 0% terus ditentang petani kakao nasional.

Liputan6.com, Jakarta Rencana pemerintah untuk menghapuskan tarif bea masuk impor biji kakao dari 5% menjadi 0% terus ditentang Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO).

Ketua Umum ASKINDO Zulhefi Sikumbang menilai jika, hal ini dilakukan akan membuat produsen pengolahan kakao dalam negeri cenderung memilih impor daripada menyerap biji kakao dalam negeri.

Dampaknya dalam jangka panjang, akan merugikan petani kakao dan membuat Indonesia tidak mempunyai produksi biji kakao dari dalam negeri.

"Jika industri sudah suka melakukan impor dan harga petani ditekan, maka pilihannya petani akan beralih ke komoditi lain, produksi kakao Indonesia akan turun dan Indonesia akan diserbu kakao impor, hampir sama dengan kejadian di komoditi yang lain seperti beras, kedelai, gula, buah2an dan sayur-sayuran lain," ujarnya saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Rabu (16/4/2014).

Dia mengatakan, jika bea masuk impor menjadi 0%, sementara belum ada instrumen lain untuk melindungi petani, maka industri akan berpandangan bahwa impor adalah cara yang mudah untuk mendapatkan biji kakao dengan besar dan mutunya bagus.

"Ini maka industri lebih cenderung impor karena mendapatkan kakao dalam negeri kompetisinya agak ketat, maka apabila impor dimudahkan maka Industri lebih memilih impor dan akan menomor duakan membeli kakao lokal," lanjutnya.

Zulhefi memaparkan, jumlah produksi biji kakao lokal mencapai  500 ribu metrik ton (MT) per tahun, sedang kapasitas pabrik pengolahan kakao dalam negeri sekitar 550 ribu MT.

"Impor kakao dari dulu dikisaran 20 ribu MT-30 ribu MT‎, itu karena kebutuhan pabrik tertentu saja," katannya.

Menurutnya dari data BPS pada periode Januari-Desember 2013, ekspor biji kakao mencapai 188 ribu MT, ekspor cocoa butter sebesar 82 ribu MT, ekspor cocoa paste sebesar 42 ribu MT.

"Ternyata Ekspor kakao Indonesia masih besar. Seharusnya industri pengolahan bekerja dengan full capacity dulu sampai bisa dibuktikan di 2014 ini tidak ada ekspor biji kakao lagi. Kalau ekspor biji kakao masih besar, kenapa kita harus impor?," jelas dia.

Meski demikian, industri pengolahan kakao dalam negeri yang memperbesar kapasitas giling dan berinvestasi dari 2011 hingga 2014 telah mengetahui bahwa produksi dan tarif impor di Indonesia dan menyatakan bahwa hal tersebut bukan masalah sehingga industri tersebut tetap membangun pabrik di Indonesia.

"Industri yang masuk ke Indonesia sudah siap untuk impor kakao dengan tarif 5 %," tandas dia.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini