Sukses

Tuntut Upah Layak, Buruh Minta RI Tiru Brazil dan China

Dengan upah yang layak maka daya beli masyarakat meningkat.

Liputan6.com, Jakarta - Reporter: Septian Deny

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai posisi Indonesia secara makro ekonomi sangat baik. Meski mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi pada tahun ini, namun Product Domestic Bruto (PDB) Indonesia kini menempati 15 besar ekonomi dunia.

Namun, lanjut Said, kehidupan masyarakat dan buruhnya bertolak belakang. Hal ini terlihat dari tingkat gini ratio tiap tahun meningkat 0,39 (2012) dan 0,41(2013) serta 2014 bertambah lagi.


"Ini berarti gap pendapatan melebar dan pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati kelas menengah atas dan menengah bawah dibayar dengan upah murah," ujarnya dalam keterangan tertulis di Jakarta, seperti ditulis Sabtu (17/5/2014).

Dia memaparkan, upah buruh di Indonesia saat ini menempati posisi yang tergolong rendah, yaitu 69 dari‎ 196 negara (ILO). "Oleh karenanya, KSPI ingin memperkecil angka gini ratio yaitu dengan melawan kebijakan upah murah dan pengusaha harus memberikan upah layak dengan seiring meningkatkan produktivitas dan key performance index pekerja," lanjut dia.

Said menjelaskan, dengan upah yang layak maka daya beli masyarakat meningkat. Hal tersebut berarti konsumsi domestik meningkat dan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga tidak hanya bertumpu pada masuknya investasi dengan harapan lapangan kerja baru akan tercipta.

"Ini yang dilakukan oleh China dan Brazil, di mana ekonomi mereka tumbuh dan investasi masuk tapi daya beli buruhnya juga meningkat," katanya.

Menurut Iqbal, tiga hal yang bisa meningkatkan upah menjadi layak yaitu pertama, dengan menambah item komponen Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dari 60 item menjadi  84 item sebagai dasar perhitungan upah minimum dan mengejar ketertinggalan upah diantara negara-negara ASEAN lain, karena upah minimum di Thailand telah mencapai Rp 3,2 juta, Filipina Rp 3,6 juta dan Malaysia Rp 3,2 juta.

"Apalagi kita akan masuk pasar tunggal ASEAN (Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015)‎ yang membutuhkan daya saing SDM tidak sekedar upah murah tapi kualitas SDM yang bergantung pada perbaikan pendidikan, produktivitas, dan penghapusan penyelundupan, serta perbaikan infra struktur dan sistem pajak atau kepabeanan," jelasnya.

Kedua, dengan merelokasi industri padat karya atau labour intensive ke daerah atau provinsi yang KHL-nya rendah sehingga upah minimumnya bisa bersaing dengan Kamboja, Vietnam dan Myanmar. "Bisa direlokasi seperti ke Subang, Boyolali, Jombang, Deli dan lain-lain. Bukan malah mempertahankan labour intensive di Jabodetabek, Karawang, Purwakarta atau Batam," ungkapnya.

Dan ketiga, dengan melakukan penolakan terhadap penangguhan upah minimum perusahaan multinasional yang bergerak di industri padat karya. "Karena upah minimum adalah safety net buruh lajang, tapi kenapa harus ditangguhkan padahal mereka mampu bayar. Bayangkan harga satu potong baju H&M itu setara UMP buruh sebulan atau harga sepasang sepatu Nike setara upah minimum buruhnya. Ini tidak adil," tandasnya. (Dny/Ndw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini