Sukses

Realisasi Impor Turun, Rupiah Kembali Tertekan

Neraca perdagangan Indonesia pada Mei mengalami surplus US$ 0,07 miliar.

Liputan6.com, Jakarta - Setelah reli dua hari berturut-turut, nilai tukar rupiah kembali tertekan terimbas pengumuman neraca perdagangan kemarin.

Data kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia (BI) menunjukkan, rupiah bergerak melemah di level Rp 11.854 per dolar Amerika Serikat (AS) pada Rabu, (2/7/2014), dari sehari sebelumnya yang berada di level Rp 11.798 per dolar AS.

Sedangkan data valuta asing Bloomberg pagi ini dibuka menguat jika dibanding dengan penutupan kemarin. Pagi ini nilai tukar rupiah dibuka di level Rp 11.857 per dolar AS, sedangkan penutupan kemarin nilai tukar rupiah berada di level Rp 11.863 per dolar AS. Namun, pada pukul 11.13 WIB, nilai tukar rupiah kembali melemah ke level Rp 11.933 per dolar AS.

Ekonom Dai-Ichi Life Research Institute Inc, Tokyo, Jepang, Tohru Nishihama mengatakan, salah satu penyebab rupiah kembali melemah karena angka neraca perdagangan terutama nilai impor berada di bawah perkiraan pasar.

"Sepertinya para pelaku pasar tidak bisa mengharapkan bahwa rupiah akan benar-benar bullish setelah melihat data-data ekonomi yang berada dalam tekanan," ungkapnya seperti ditulis oleh Bloomberg.

Neraca perdagangan Indonesia pada Mei mengalami surplus US$ 0,07 miliar setelah pada bulan sebelumnya mencatat defisit sebesar US$ 1,96 miliar.

Kinerja neraca perdagangan tersebut dipengaruhi oleh neraca perdagangan non migas Mei yang berbalik dari defisit menjadi surplus meskipun neraca perdagangan migas mencatat defisit yang meningkat dibandingkan kondisi April.

Neraca perdagangan non migas mencatat surplus US$ 1,40 miliar dibandingkan dengan defisit US$ 0,92 miliar pada April, dipengaruhi ekspor non migas yang meningkat 6,95 persen sementara impor non migas terkontraksi 12,05 persen. Peningkatan ekspor non migas terutama terjadi pada komoditas utama lemak dan minyak hewan atau nabati.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Bloomberg kepada ekonom, realisasi penurunan angka impor ternyata lebih rendah dibanding rata-rata angka ekspor yang diperkirakan oleh para ekonom dalam survei tersebut.

Dalam survei, impor diperkirakan turun 5,87 persen, namun realisasinya Impor turun 12,05 persen, lebih besar jika dibandingkan dengan penurunan April yang tercatat sebesar 1,3 persen.

Ekonom Standard Chartered Bank Indonesia, Eric Alexander Sugandi menambahkan, seharusnya tekanan terhadap rupiah tidak akan terus berlanjut ke level yang lebih dalam. Alasannya, sebenarnya faktor fundamental yang selama ini menekan rupiah telah berangsur-angsur hilang.

Pertama, terlihat dari neraca perdagangan yang menunjukkan level surplus meskipun nilai surplusnya tidak terlalu besar dibanding perkiraan semua. "Tetapi  dengan surplus tersebut menunjukkan adanya perbaikan," tuturnya kepada Liputan6.com.

Kedua, repatriasi income baik dari sisi pembayaran bunga obligasi maupun pembayaran dividen telah berakhir di semester kedua ini. Oleh sebab itu, Eric memperkirakan bahwa rupiah tidak akan menuju ke level Rp 12.000 per dolar AS lagi.

"Kecuali faktor geopolitik eksternal seperti konflik di Suriah dan juga Ukraina akan berpengaruh kepada produksi minyak," jelasnya. Jika konflik tersebut berpengaruh kepada produksi minyak maka efek selanjutnya adalah kenaikan harga minyak dunia yang akan mebuat nilai impor Indonesia membengkak.

Dalam jangka pendek, Eric memperkirakan rupiah bakal bermain di kisaran Rp 11.800 per dolar AS, sedangkan secara jangka panjang rupiah akan berada di level Rp 11.600 per dolar AS. (Gdn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.