Sukses

Tantangan Ekonomi yang Bakal Dihadapi Presiden Baru

Alokasi anggaran subsidi bahan bakar minyak lebih besar di Anggaran Pendapatan belanja Negara terus menjadi beban bagi ekonomi Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Pelaksanaan pemilihan umum Presiden (Pilpres) telah selesai digelar pada 9 Juli 2014. Kini masyarakat Indonesia menanti keputusan resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) soal penghitungan suara.

Dengan pelaksanaan pilpres yang berjalan aman ini memberikan kepastian perkembangan politik bagi pelaku pasar keuangan. Para pelaku pasar keuangan akan fokus memperhatikan apa rencana dan program calon pemimpin baru Indonesia dalam jangka pendek dan panjang setelah pengumuman hasil KPU tersebut.

Pelaku pasar keuangan terutama investor asing akan melihat bagaimana pemerintahan baru membenahi subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan infrastruktur. Oleh karena itu, siapa pun yang akan menjadi presiden Indonesia akan menghadapi tantangan ekonomi soal subsidi BBM dan infrastruktur. Subsidi BBM tersebut dinilai menjadi beban bagi Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

"Yang pasti beban BBM itu sangat berat. Kemudian kelemahan kita soal infrastruktur," ujar Analis PT Samuel Sekuritas, Muhammad Alfatih, saat berbincang dengan Liputan6.com, yang ditulis Minggu (13/7/2014).

Alfatih menambahkan, masalah subsidi BBM ini berat karena menjadi salah satu gerbong perekonomian Indonesia. Sisi lain Indonesia masih kekurangan soal infrastruktur. Padahal dengan pengalihan subsidi BBM dapat digunakan untuk pengerjaan infrastruktur yang dapat membantu ekonomi Indonesia.

Ia menuturkan, tantangan yang dihadapi pemerintahan baru yaitu meningkatkan pertumbuhan industri dan mendongkrak nilai tambah ekspor Indonesia. Selama ini Indonesia bertumpu pada ekspor komoditas alam seperti batu bara, minyak kelapa sawit dan mineral lainnya. Bila tidak dikelola dengan naik dapat menjadi risiko bagi Indonesia.

Sementara itu, dalam laporan eastpring investment, disebutkan dalam revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), subsidi BBM merupakan pengeluaran pemerintah yang mengalami kenaikan terbesar menjadi Rp 246,5 triliun dari Rp 210,7 triliun.

Sedangkan anggaran untuk belanja barang modal justru dikurangi. Artinya, alokasi anggaran untuk mendukung pembangunan infrastruktur masih lebih rendah jika dibandingkan dengan anggaran alokasi untuk mendukung subsidi BBM.

Selain masalah subsidi BBM, Indonesia juga harus menjaga defist neraca transaksi berjalan. Hingga kuartal I 2014, posisi defisit neraca berjalan Indonesia tercatat sebesar US$ 4,2 miliar atau sama dengan 2,1 persen dari produk domestik bruto (PDB).

"Defisit neraca berjalan Indonesia masih berpeluang untuk terus melebar karena masih lemahnya dukungan dari aktifitas ekspor Indonesia serta masih tingginya impor minyak yang dilakukan Indonesia. Posisi neraca berjalan ini akan sangat mempengaruhi pergerakan nilai tukar rupiah," tulis riset Eastspring Investment.

Sedangkan dalam jangka panjang, Indonesia harus mampu lepas dari jeratan middle income trap yaitu situais yang menunjukkan suatu negara terhadap pada level pendapatan tertentu.

Bank Dunia menyebutkan terdapat 6 area reformasi penting yang dilakukan untuk mengatasi middle income trap itu seperti menutup gap infrastruktur, menutup gap keterampilan, pasar keuangan yang berfungsi baik, dan akses untuk semua lapisan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas. Lalu memperbaiki perlindungan sosial dan manajemen risiko alam.

"Jika enam hal itu tidak dibenahi maka Indonesia akan mengalami masalah seperti yang dialami oleh Brasil, Mexico, Afrika Selatan dan beberapa negara lain yang memiliki pendapatan menengah yang terjadi di periode 1980 hingga pertengahan 2000," tulis laporan tersebut. (Ahm/)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.