Sukses

Empat Hal yang Bikin Merpati Susah Bangkit Lagi

Pertolongan pemerintah, bukan semata-mata melihat Merpati sebagai perusahaan pelat merah.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebut beberapa hal menyebabkan kondisi PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) kian terpuruk dan kesulitan untuk beroperasi kembali. Ini diperparah dengan kondisi bisnis penerbangan yang sedang mengalami goncangan saat ini.

Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kemenkeu, Hadiyanto mengatakan, restrukturisasi untuk perusahaan penerbangan memang sangat kompleks. Ada dua jenis restrukturisasi, yakni utang dan restrukturisasi operasional.

"Begitu ada fluktuasi harga avtur, target penumpang nggak tercapai, SLF nggak tercapai, operasional langsung kacau," papar dia saat ditemui di kantornya, Jakarta, Senin (4/8/2014).

Menurut Hadiyanto, pihaknya melihat restrukturisasi Merpati secara keseluruhan, baik dari sisi utang maupun operasional. Pertolongan pemerintah, sambungnya, bukan semata-mata melihat Merpati sebagai perusahaan pelat merah.

"Harus melihat restrukturisasi operasional juga seperti perubahan manajemen, perubahan budaya kerja, komitmen dari semua stakeholder, dan program-program yang meningkatkan efisiensi mengurangi biaya. Jangan dilihat Merpati adalah BUMN, tapi harus dilihat dia sebagai korporasi dalam tata kelola perusahaan yang baik," jelasnya.

Di samping itu, Hadiyanto menilai, Merpati tengah mengalami kondisi pelik sehingga sangat sulit untuk kembali mengoperasikan maskapai penerbangan pertama di Indonesia ini.

Merpati, lanjut dia, harus bersaing keras dengan maskapai penerbangan lain di kelas low cost carrier. Seluruh rute perintis, sambungnya, telah digarap oleh perusahaan penerbangan swasta yang bermain di kelas yang sama. "Jadi secara kompetisi, Merpati harus benar-benar lebih efisien. Itu alasan pertama," katanya.

Kedua, dia bilang, terkait manajemen pengelolaan pesawat. Hadiyanto mengaku, Merpati wajib memiliki armada pesawat ideal yang lebih banyak dan seragam.

Saat ini, BUMN tersebut mempunyai pesawat jet, boeing, airbus dan lainnya sehingga menyebabkan biaya perawatan menjadi lebih mahal.

"Alasan ketiga, sumber daya manusia (SDM). Karyawannya kebanyakan nggak untuk mengoperasikan 5-6 pesawat. Apa perlu sebanyak ini," tutur dia.

Pertimbangan keempat Merpati sulit bangkit, Hadiyanto menyebut, karena manajemen yang kurang disiplin dalam menjalankan roda perusahaan. Di sini, tambahnya, manajemen harus belajar dari pengalaman tersebut.

"Akibatnya pinjam avtur terus, tidak bisa bayar. SLF rendah, nggak bisa catch up dengan biaya operasi, serta kewajiban utang lain," paparnya.(Fik/Nrm)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.