Sukses

Pengusaha Tambang Protes Aturan Sertifikat Clean and Clear

Banyak pengusaha sudah mengajukan permintaan sertifikasi clean and clear namun tak pernah ada kejelasan dari Kementerian ESDM.

Liputan6.com, Jakarta - Sertifikat Clean and Clear (CnC) yang diterapkan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) bagi pengusaha tambang sebagai syarat untuk mendapatkan status Eksportir Terdaftar (ET) untuk kemudian bisa melakukan ekspor menuai 'kecaman' dari kalangan pengusaha.  

Ketua Komite Bisnis Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Pandu Sjahrir menilai, tak ada sosialisi yang memadai dari pemerintah. Aturan itu juga dinilai banyak bertentangan dengan regulasi yang lain. 

Walau dari sisi tujuan baik, untuk menekan pertambangan ilegal, namun dari sisi waktu sangat tidak tepat. Apalagi jika harus dipaksakan tetap berlaku per 1 September nanti.

"Aturan dari Dirjen Minerba tidak disosialisasikan dengan memadai, dari sisi waktu juga tidak tepat sehingga ini akan berefek buruk pada semua," tegas Pandu dalam keterangan tertulisnya Kamis  (21/8/2014).

Ia menceritakan, banyak pengusaha sudah mengajukan permintaan sertifikasi clean and clear sejak tiga tahun lalu namun sampai saat ini tidak pernah ada kejelasan dari Kementerian ESDM bagaimana statusnya, apakah sudah CNC atau belum.

Maka, jika sekarang aturan itu dipaksakan, banyak pengusaha tambang yang sebenarnya sudah clean and clear, terbiasa ekspor, kemudian tidak bisa mengirim batu bara ke pembeli padahal sudah ada komitmen bisnis.

Keluhan ini sudah disampaikan pengusaha dalam acara Sosialisasi Permendag 39 yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan RI pada 7 Agustus yang dihadiri perwakilan Kementerian Perdagangan, perwakilan Ditjen Minerba, dan pelaku industri batu bara, di mana pada saat itu perwakilan Ditjen Minerba mengatakan bahwa sertifikat clean and clear tidak merupakan syarat yang harus dilampirkan untuk mendapatkan rekomendasi ET Dirjen minerba.

Namun, rupanya masukan pengusaha sama sekali tidak diakomodir oleh Ditjen Minerba dan pernyataan-pernyataan perwakilan minerba yang pada saat sosialisasi Permendag 39 justru berbeda dengan ketentuan yang termuat dalam Perdirjen Minerba Nomor 714.  

Ada juga poin yang dinilai bermasalah terkait dengan kewajiban menyampaikan surat pernyataan bermaterai mengenai kebenaran dokumen dan kesediaan membayar iuran produksi/DPHB pada titik jual di FOC barge/vessel sebelum diangkut lintas kabupaten/kota/provinsi.


Padahal substansi yang dimuat dalam surat pernyataan ini bertentangan dan tidak sejalan dengan peraturan lain dan surat minerba yang sudah ada sebelumnya.

Jika pembayaran iuran produksi dilakukan pada titik jual FOB barge/vessel, maka ada kemungkinan nilai produksi yang akan dibayarkan akan meliputi biaya-biaya perusahaan yang terjadi pada proses penjualan antara lain transhipment, barging, surveyor dan insurance, yang bukan merupakan bentuk dari pemanfaatan sumber daya alam.

Hal ini bertentengan dengan UU No 20 tahun 1997 tentang penerimaaan negara bukanpajak, dimana disebutkan iuran produksi hanya dikenakan pada pemanfaatan sumber daya alam. Hal ini juga tidak sejalan dengan penegasan dari surat  Direktorat Jenderal Mineral Batubara No 1363/07/DBP/2013 tanggal 8 November 2013, di mana perhitungan iuran asurasni produksi didasarkan pada perpindahan kepemilikan pada fasilitas muat akhir yang dimiliki oleh pemegang IUP/dan atau PKP2B yaitu FOB Tonkang.

Terkait dengan pernyataan kesediaan membayar iuran produksi sebelum diangkut lintas kabupaten.kota/provinsi juga bertentangan dengan peraturan pemerintah nomor 9 tahun 2012 tentang jenis dan tarif atas penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kementerian Energi dan sumber daya mineral (PP/9/2012) tidak mewajibkan pembayaran iuran produksi sebelum diangkut lointas kabupaten/kota/provinsi.


Semua ketentuan baru itu, tegas Pandu, belum pernah ditelaah bersama-sama dengan asosisiasi. "Ini juga belum disosialisakan, padahal dampaknya cukup negatif bagi industri," tandasnya.

Ia menegaskan, jika tetap diterapkan per 1 September sudah bisa dipastikan, pengusaha batubara yang sudah memiliki komitmen penjualan akan terganggu sehingga tidak bisa ekspor. Dampaknya, ini juga akan berimbaspada sisi makro ekonomi dimana neraca perdagangan akan makin defisit. "Ini critical issue, dampaknya bisa ke ekonomi makro, defisit akan makin melebar, jadi akan lebih baik diundurkan saja. Kebijakan ini bisa membuat semua terpuruk," tegasnya.
 
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemasok Energi dan Batu bara Indonesia (Aspebindo) Ekawahyu Kasih juga minta aturan ini ditunda. "Mestinya ESDM menyelesaikan CNC dulu agar ada keadilan," ucap dia.

Jika sudah diumumkan semua, kemudian pengusaha diberi waktu untuk mengurus perbaikan-perbaikan misal jika memang ada yang tumpang tindih dan lain-lain, untuk kemudian bisa mendapatkan status CNC yang nantinya bisa digunakan untuk mendapatkan rekomendasi sebagai eksportir terdaftar.

Ia khawatir aturan ini bisa memperpanjang rantai birokrasi. "Belum lagi tidak ada kepastian waktu berapa lama sebenarnya pengurusan untuk mendapat CNC, lima hari atau berapa lama," tegasnya. (Pew/Ndw)

*Bagi Anda yang ingin mengikuti simulasi tes CPNS dengan sistem CAT online, Anda bisa mengaksesnya di Liputan6.com melalui simulasicat.liputan6.com. Selamat mencoba!

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini