Sukses

Dominasi Koalisi Merah Putih di DPR Biang Kerok Rupiah Terpuruk?

Gejolak politik Indonesia terus disebut-sebut sebagai biang keladi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Apakah hal itu benar?

Liputan6.com, Jakarta - Gejolak politik Indonesia terus disebut-sebut sebagai biang keladi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Mulai dari pengesahan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak langsung hingga Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendominasi parlemen.

Namun hal ini dibantah Pengamat Valas, Farial Anwar. Menurutnya, kondisi politik Indonesia saat ini merupakan sentimen negatif tambahan yang menyebabkan keterpurukan nilai tukar rupiah semakin dalam.

"Sisi politik kita yang sedang carut marut dijadikan sentimen negatif dari berbagai pihak bagi pasar keuangan, termasuk nilai tukar rupiah yang melemah," ucapnya saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, Jumat (3/10/2014).

Dia menilai, masyarakat maupun pelaku pasar memandang lawan politik Presiden terpilih Joko Wiododo (Jokowi) selalu jahat dan ingin menggulingkannya dari kursi orang nomor satu di Republik ini. Tapi ternyata, Farial melihat bahwa sosok Jokowi pun tidak sepenuhnya bak malaikat.

"Lawan politik Jokowi selalu dianggap jahat, dan Jokowi dinilai paling baik. Padahal ini tidak betul juga, seperti pada waktu pengumuman kabinet, katanya mau dirampingkan tapi faktanya masih gemuk juga dengan porsi kalangan politik yang tidak berkurang. Kondisi ini membuat pasar kecewa dan rupiah saat itu melemah," jelas Farial.

Dirinya menyoroti kondisi pelemahan rupiah sudah terjadi sejak lama. Dia menyebut, sejak 2013, kurs rupiah semakin tak berdaya dari nilai Rp 9.600 per dolar AS dan kini menyentuh lebih dari Rp 12 ribu per dolar AS meskipun rupiah jatuh bangun.

"Jadi politik di Indonesia cuma sentimen tambahan pelemahan kurs rupiah, bukan faktor utama. Problem paling dasarnya karena neraca perdagangan kita masih mengalami defisit," cetus Farial.

Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatatkan defisit neraca perdagangan per Agustus 2014 senilai US$ 318,1 juta. Selain karena tingginya impor minyak mentah, defisit disebabkan karena peningkatan impor mobil dari negara lain, seperti Thailand. (Fik/Ndw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini