Sukses

Cukai Rokok Naik Lagi, Usaha Tembakau Disebut Jadi Sapi Perahan

Tarif cukai tembakau meningkat lebih dari 100 persen dalam 6 tahun dari Rp 49,9 triliun dalam APBN 2008 menjadi Rp 100,7 triliun di 2014.

Liputan6.com, Jakarta Rencana pemerintah menaikkan cukai rokok sebesar 10 persen pada tahun depan dinilai menunjukkan jika sektor tembakau merupakan sapi perahan dalam mencukupi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang terus memburuk akibat bunga utang dan cicilan luar negeri yang besar.

“Padahal tarif cukai tembakau telah meningkat lebih dari 100 persen dalam 6 tahun dari Rp 49,9 triliun dalam APBN 2008 menjadi Rp 100,7 triliun dalam APBNP 2014. Nah, pada tahun 2015, pemerintah menargetkan penerimaan cukai hasil tembakau sebesar Rp 120,5 triliun,” tegas peneliti Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (8/10/2014).

Menurut Daeng, sejak awal kebijakan ini telah menuai protes dari kalangan pelaku usaha tembakau. Namun, rencana kenaikan tarif cukai telah ditetapkan dalam APBN 2015.

Sebagaimana tertuang dalam Nota Keuangan 2015, di mana kebijakan di bidang kepabeanan dan cukai antara lain dimaksudkan untuk (1) mengantisipasi pemberian konsesi tarif bea masuk nol persen terhadap impor bahan baku terkait kebijakan FTA; (2) ekstensifikasi barang kena cukai; dan (3) penyesuaian tarif cukai rokok.

“Dengan demikian, kebijakan APBN tersebut di atas hendak menggantikan hilangnya pendapatan dari bea masuk impor tembakau dan produk tembakau dengan penerimaan cukai tembakau dan produk tembakau dalam negeri. Hal ini merupakan indikasi bahwa pemerintah memang pro terhadap impor tembakau dan rokok namun anti terhadap pertanian dan industry kretek nasional,” tegas dia.

Pada saat yang sama, ungkap Daeng, sektor tembakau terus mendapat tekanan kebijakan yang mengacu pada rezim internasional Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang telah diadopsi ke dalam peraturan perundangan nasional seperti pembatasan penanaman tembakau melalui alih fungsi lahan, pembatasan kadar tar dan nicotin dan larangan merokok di tempat umum.

Berbeda dengan cukai dari sumber lain seperti cukai minuman beralkohol yang tidak terkena dengan berbagai macam kebijakan pembatasan sebagaimana yang dihadapi tembakau. Padahal minuman beralkohol sebagian besar merupakan produk yang diimpor.

Daeng menuturkan, dibandingkan dengan cukai lainnya, penerimaan cukai tembakau merupakan penerimaan paling besar dalam APBN dibandingkan dengan sektor ekonomi manapun.

Penerimaan cukai tembakau merupakan 96,2 persen dari penerimaan cukai, sisanya Rp 3,8 triliun atau sebanyak 3,6 persen adalah Pendapatan Cukai Minuman Mengandung Ethil Alkohol (MMEA). Berbeda dengan cukai tembakau yang proporsinya cenderung meningkat, proporsi cukai alkohol terus menurun.

Lebih lanjut dijelaskan Daeng, kebijakan menaikkan tarif cukai tembakau memiliki korelasi dengan semakin menurunnya industri kecil dan menengah dalam industri tembakau.

Kebijakan menaikkan tarif cukai tembakau semakin meningkatkan dominasi perusahaan besar khususnya perusahaan asing dalam sektor tembakau.

Kebijakan meningkatkan tarif cukai tembakau akan langsung menyebabkan perusahaan tembakau skala kecil gulung tikar. Ditambah lagi dengan kewajiban tanda gambar bagi setiap kemasan rokok telah menimbulkan beban biaya yang tidak kecil, semakin menambah mahal ongkos produksi rokok skala kecil dibandingkan dengan keuntungan yang sapat mereka terima.

Oleh karenanya, AEPI berharap pemerintah tidak bersikap egois dengan hanya memikirkan kantongnya APBN-nya sendiri. Pemerintah harus memikirkan masa depan industry hasil tembakau yang semakin tertekan, baik karena perdagangan bebas, kebijakan pembatasan dan terakhir oleh kebijakan cukai tinggi.

Cara rezim pemerintahan sekarang mengatur fiskal baru sebatas ilmu ibu rumah tangga, akibatnya hanya industri nasional dalam dalam satu dasawarsa terakhir mengalami kemunduran luar biasa.

“APBN jangan seperti manajemen ibu rumah tangga hanya melihat dari sisi uang masuk dan uang keluar, namun harus memiliki orientasi pembangunan industri,” cetusnya.

Dengan demikian maka industri nasional ke depan semakin memiliki kesiapan dalam menghadapi perdagangan bebas ASEAN (AFTA) yang akan mulai berlaku pada Desember 2015.

“Tanpa persiapan yang matang dan keberpihakan sistem fiskal nasional, seluruh industri nasional akan gulung tikar dihajar impor,” tukasnya. (Nrm)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini