Sukses

40 Perusahaan Rokok di Kudus Lenyap Dalam 7 Tahun

Puluhan perusahaan rokok skala kecil di Kudus, Jawa Tengah mengalami kebangkrutan setelah dilanda permasalahan regulasi dari pemerintah.

Liputan6.com, Jakarta - Komunitas Perusahaan Rokok Kudus (KOPERKU) menyebut puluhan perusahaan rokok skala kecil di Kudus, Jawa Tengah mengalami kebangkrutan setelah dilanda beberapa permasalahan regulasi dari pemerintah. Tercatat sudah ribuan pekerja dirumahkan karena penghentian operasi tersebut.

Koordinator KOPERKU, Rusdi Rahman mengungkapkan, satu per satu perusahaan rokok kecil di Kudus terpaksa gulung tikar. Berdasarkan datanya, ada sebanyak 70 perusahaan rokok pada 2007, kini hanya tersisa 31 perusahaan.

"Sebanyak 40 perusahaan rokok kecil di Kudus tutup karena nggak bisa produksi lagi. Saat itu PHK besar-besaran dan sama sekali tak memberi pesangon buat mereka," kenang dia saat berbincang usai Konferensi Pers Tolak Kenaikan Cukai di Jakarta, Rabu (15/10/2014).

Dia membeberkan kondisi pelik tersebut bermula dari regulasi pemerintah PMK 200 Tahun 2008 yang membatasi luas tempat bekerja atau produksi rokok dari 60 meter persegi menjadi 200 meter persegi.

"Aturan ini sangat memberatkan karena rata-rata luas ruang produksi rokok industri rumahan 60 meter dan diisi 6-15 pekerja, bahkan 30 pekerja. Akhirnya perusahaan itu mati sebab mereka nggak punya finansial untuk memperluas ruangan," sambungnya.

Lebih jauh dijelaskan Rusdi, kebijakan pemerintah semakin mencekik perusahaan rokok kecil di daerah penolakan pengajuan pita cukai karena tidak sesuai dengan aturan pemerintah.

"Kondisi ini semakin membuat kami nggak bisa bergerak. Padahal persaingan pasar yang tidak sehat pun kami dapat bertahan, tapi regulasi dari pemerintah justru yang mematikan kami," keluh dia.

Jika ditelusuri, dirinya mengaku, perusahaan rokok kecil di daerah mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Dari rata-rata suplai tembakau 6-7 ton per hari, cengkeh 2-3 ton, produsen rokok skala kecil dapat memproduksi 6-7 ribu batang rokok per hari.

Sekarang ini, Rusdi bilang, pemerintah menerbitkan aturan pembatasan kadar nikotin dalam rokok kretek. Itu artinya, lanjut dia, produksi rokok harus menggunakan tembakau impor yang mengandung kadar nikotin rendah. Diakuinya memang tembakau lokal memiliki kadar nikotin jauh lebih tinggi.

"Perusahaan rokok lokal semakin terpinggirkan, perlahan semua mati. Belum lagi disuruh juga cantumkan gambar seram di bungkus rokok. Harga jual cuma Rp 3.000-Rp 5.000 per bungkus, tapi suruh tanggung biaya produksi besar," pungkasnya.  (Fik/Ndw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini