Sukses

Susahnya Produk RI Tembus Pasar Jepang

Jepang sangat memperhatikan standar kualitas dan keamanan tinggi membuat pengusaha Indonesia sulit untuk menembus pasar Jepang.

Liputan6.com, Jakarta - Perjanjian Kemitraan Ekonomi Indonesia-Jepang (IJEPA) yang berlangsung sejak tujuh tahun lalu diharapkan mampu memberi keuntungan bagi kedua negara. Namun seiring berjalannya waktu, liberalisasi perdagangan dalam kerangka perjanjian ini justru masih mempersulit produk dalam negeri menembus pasar Jepang.

Menurut Peneliti dan Penulis Buku Dalam Bayangan Matahari Terbit, Shanti Darmastuti, harapan Indonesia terhadap peningkatan ekspor produk ke Jepang paska penandatanganan EPA pupus.

"Di sektor perdagangan, memang Jepang mempermudah kita dengan menurunkan tarif bea masuk, tapi Jepang juga memberlakukan kebijakan non tarif kepada produk kita jadi tetap saja sulit masuk ke pasar Jepang," tegas dia dalam acara Bedah Buku di Jakarta, Jumat (24/10/2014).

Sebagai contoh, kata Shanti, permintaan Negeri Sakura itu terhadap produk pertanian sayur dan buah-buahan dari Indonesia sangat tinggi. Namun, sambungnya, negara ini tak sanggup meladeni permintaan tersebut karena terbentur persoalan domestik, seperti infrastruktur, peraturan dan sebagainya.

Lebih jauh dijelaskan dia, EPA tidak membuat kualifikasi standar yang menjadi hambatan nontarif di Jepang, seperti untuk ekspor produk kayu lapis, komponen otomotif, kopi dan sebagainya.

"Ekspor kayu misalnya kita kesulitan soal standarisasi ukuran dan bahan sehingga mempersulit pengusaha lokal. Produk kopi kita pun sulit masuk ke Jepang karena ada standarnya ambang pestisida," tutur Shanti.

Jepang, tambah dia, sangat memperhatikan standar kualitas dan keamanan tinggi untuk produk makanan serta minuman. Hal ini yang masih sulit dipenuhi produsen di Tanah Air mengingat banyak produsen lokal yang menggunakan pestisida maupun bahan kimia dalam pengolahan produk mereka.

Di buku Dalam Bayangan Matahari Terbit, Shanti menuliskan, sistem pengenalan residu pestisida yang diterapkan pemerintah Jepang sejak Mei 2006 sangat menyulitkan. Dalam sistem ini ditetapkan ambang batas ketat sekira 50 ribu residu kimia dalam 734 jenis pestisida.

"Ini kondisi realita yang ada di Indonesia. Mau tidak mau pemerintah harus bekerja keras mengatasi kesulitan tersebut," tandas Shanti. (Fik/Ahm)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini