Sukses

Salah Respon Kebijakan, Rupiah Bisa Tembus ke 13.000 per Dolar

Apabila kenaikan suku bunga The Fed cukup signifikan, maka investor akan berbondong-bondong menarik dananya dari Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom Raden Pardede berpendapat Indonesia akan menghadapi ketegangan pasar keuangan akibat rencana kenaikan suku bunga The Federal Reserve (Fed Fund Rate) pada tahun depan. Jika kebijakan itu terealisasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) diperkirakan akan mengalami pelemahan yang cukup dalam.

"Tahun depan ada ketegangan keuangan dari The Fed AS, karena mereka telah mengurangi pelan-pelan likuiditasnya. Jika data employment membaik, tahun depan kenaikan suku bunga," papar dia saat acara Economic and Financial Market Outlook Seminar di Jakarta, Senin (3/11/2014).

Apabila kenaikan suku bunga The Fed cukup signifikan, maka investor yang menanamkan modal di portofolio investasi akan berbondong-bondong menarik uangnya dari Indonesia.

"Dengan begitu, cadangan devisa kita bisa terkuras dan rupiah akan terganggu. Sehingga tahun depan diperkirakan kurs rupiah akan melemah," ujar dia.

Raden memproyeksikan, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di akhir 2015 akan berada pada rentang Rp 12.200-Rp 12.700 per dolar AS. Namun estimasi tersebut, lanjutnya berpotensi melampaui dan semakin terdepresiasi ke level Rp 13.000 per dolar AS.

"Kalau salah respon kebijakan, maka proyeksi ini bisa lewat, bahkan lewat Rp 13.000 per dolar AS juga bisa. Saya tidak mau itu terjadi," tuturnya.

Raden mengimbau, pemerintah dan lembaga keuangan lain seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan mampu menerapkan campuran kebijakan stabilisasi.

"Jadi jangan hanya bergantung pada kebijakan moneter, tapi dikombinasikan pula dengan kebijakan fiskal, struktural, crisis management protocol dan lainnya," papar Raden.

Indonesia, kata dia, membutuhkan depresiasi kurs rupiah yang sesuai antara inflasi negara ini dengan AS. Sebagai contoh, sambungnya, jika inflasi Indonesia 6 persen, dan inflasi AS sebesar 2 persen, Republik ini memerlukan depresiasi 4 persen.

"Itu pernah terjadi di tahun 1970-1980-an di mana rupiah kita terdepresiasi 4 persen. Ekspor manufaktur kita pun tetap terjaga kompetitifnya. Sayangnya kita sudah merasa hebat saat rupiah kita Rp 9.000 per dolar AS, padahal China melakukan pelemahan kurs mata uangnya perlahan supaya lebih kompetitif," jelas dia.

Lebih lanjut Raden menyayangkan terlenanya Indonesia ketika booming ekspor komoditas. Sementara kondisi ini terbilang semu. "Kita tidak menggenjo ekspor manufaktur, terlena sama booming komoditas. Tapi penyesalan memang selalu datang terlambat," ucap Raden.

Dia menyebut beberapa proyeksi ekonomi makro di 2015, antara lain, pertumbuhan ekonomi berkisar 5,2 persen-5,5 persen dengan asumsi subsidi BBM dipangkas, investasi rebound dan lainnya.

Sementara prediksi inflasinya berada di level 6,5 persen-7,5 persen atau tergantung pemerintah dalam menjaga dan mengendalikan harga pangan nasional.

"Interest rate 2015 sekira 7,5 persen sampai 8,5 persen. Kurs rupiah Rp 12.200-Rp 12.700 per dolar AS. Defisit transaksi berjalan masih akan melemah, namun bisa berkurang dari Produk Domestik Bruto (PDB)," tukas Raden. (Fik/Gdn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.