Sukses

Dukung Program Konversi, Alihkan Subsidi BBM buat Bangun SPBG

Dari sekian kali kenaikan harga BBM dan elpiji bersubsidi, seringkali pemerintah luput untuk membenahi penyediaan energi alternatif.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah diminta lebih memperhatikan berbagai potensi energi alternatif seperti gas yang belum dimanfaatkan secara maksimal dan masih melimpah ketimbang terus menerus bergantung pada BBM.

Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, dari sekian kali kenaikan harga BBM dan elpiji bersubsidi, seringkali pemerintah luput untuk membenahi penyediaan energi alternatif.

Ini terkait kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM subsidi sebesar Rp 2.000 per liter sehingga menghemat subsidi hingga Rp 100 triliun.

"Misal dari Rp 120 triliun penghematan subsidi BBM itu kemudian dialihkan ke infrastruktur termasuk pembangunan SPBG di kota-kota besar atau membangun fasilitas energi baru dan terbarukan, sehingga konversi BBM ke BBG dan energi alternatif lainnya bisa lebih cepat," kata Tulus, di Jakarta, Rabu (19/11/2014).

Ia menyarankan, dari nilai penghematan itu, bisa saja dialihkan Rp 30 triliun untuk konversi BBM ke BBG karena sampai saat ini hanya ada 19 SPBG. Itu pun belum maksimal karena kendaraan bermotor belum banyak memakai BBG termasuk angkutan umum.

"Sering dikatakan membangun MRT cukup Rp 16 triliun, kenapa dialihkan ke sana sekaligus membangun SPBG sekaligus penyediaan angkutan umum berbasis gas, karena program gasifikasi kendaraan umum juga sudah mendesak," tandasnya.

Ia menjelaskan, program konversi ke gas di Indonesia yang dimulai pada 1998 hampir berbarengan dengan yang dijalankan di Pakistan. Kini hasilnya jauh berbeda. Pakistan sekarang punya 3.000 SPBG sehingga tiap tahun hampir 3 juta kendaraan menikmati gas.

"Karena pemerintah Pakistan konsisten dengan rencana, kemudian dieksekusi sehingga program itu terlaksana. Di Indonesia terlalu banyak kepentingan," ujar dia.

Padahal, dengan  harga minyak yang mahal maka kebijakan menggunakan energi alternatif seperti gas sudah sangat mendesak. Dari sisi pasokan pun melimpah.

"Sebenarnya seluruh alasan untuk tidak mempercepat gasifikasi kendaraan bermotor, justru menunjukkan bahwa ada kepentingan tertentu di balik itu," tegas Tulus.

Dari hasil pengamatan di luar negeri, kata Tulus, di  Guangzhou, Cina, busway dan transportasi di sana justru menggunakan gas dari lapangan Tangguh. Kemudian taksi-taksi di Malaysia pakai gas dari Indonesia.

"Bahkan pembangkit di Singapura juga menggunakan gas dari Indonesia yang diambil langsung dari Natuna dan Sumatra Selatan. Sementara di kita, PLN seringkali kesulitan mendapat gas, dan bahkan banyak pembangkit listriknya masih menggunakan BBM, kelihatan sekali bahwa ada pihak-pihak tertentu yang lebih senang mengimpor minyak," tandasnya.

Ia curiga, impor minyak yang terus dipertahankan mengindikasikan adanya kepentingan tertentu yang berkolaborasi dengan para mafia minyak, sehingga program konversi ke gas jadi lambat.

"Importir minyak itu juga salah satu penghambat eksternal konversi, karena ada mafia-mafia itu tadi. Revitalisasi kilang untuk BBM sangat seret," ungkapnya. (Nrm)


* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini