Sukses

Buruh Usul Perhitungan Upah Tak Pakai Kebutuhan Hidup Layak

Metode perhitungan upah yang menggunakan standar KHL dinilai sudah tidak sesuai dengan kebutuhan buruh.

Liputan6.com, Jakarta - Gelombang tuntutan terhadap kenaikan upah minimum yang dilakukan oleh buruh di Indonesia selalu terjadi setiap tahun.

Menurut Ketua Umum Federasi Perjuangan Buruh Indonesia (FPBI,) Santoso, selalu ada ketidakpuasan buruh terhadap upah minimum ini karena metode perhitungan upah yang menggunakan standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) sudah tidak sesuai dengan kebutuhan buruh.

Salah satu penyebabnya, perhitungan KHL hanya diperuntukan bagi buruh yang belum menikah sehingga relatif belum memiliki tanggungan keluarga. Sedangkan kondisi di lapangan juga tidak semua buruh berstatus lajang.

"Kami melihat penentuan KHL yang sebetulnya untuk lajang, maka bagi yang berkeluarga itu harus nombok untuk memenuhi kebutuhannya. Seperti dalam KHL tidak ada biaya pendidikan anak. Kalau kami lihat, ini ada pada regulasinya yang perlu dikaji kembali. Artinya sudah tidak layak berdasarkan KHL," ujar Santoso saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Rabu (26/11/2014).

Santoso menjelaskan, meskipun jumlah item KHL ditambah tetap tidak akan menyelesaikan persoalan upah buruh.

"Kalau berpatokan di KHL tidak akan selesai. Setiap tahun buruh nuntutnya jumlah KHL yang diperbanyak dari 64 item ke 80-an. Memperbanyak komponen ini mengejar kualitasnya tetapi tidak akan pernah tercapai kalau patokannya pada KHL karena itu bukan kebutuhan ril buruh," jelasnya.

Selain jumlah item, metode survei KHL yang digunakan juga dinilai yang sudah tidak relevan lagi dimana harga-harga kebutuhan pokok yang disurvei berada di pasar-pasar tradisional yang jauh dari jangkuan buruh.

"Buruh lebih senang belanja di warung atau minimarket. Itu yang harus dikaji tentang metode surveinya," lanjut dia.

Ke depannya, dia berharap ada perubahan pada metode perhitungan KHL sehingga kebutuhan masing-masing buruh bisa terpenuhi.

"Ke depan, ada konsepsi penetapan yang membedakan antara lajang dengan yang berkeluarga dengan anak 1, anak 2, anak 3 dan seterusnya. Itu pandangan dari kami," ujar Santoso. (Dny/Ahm)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini