Sukses

Dua Hal Ini Jadi Senjata Ekonomi RI Melesat 5,8%

Gubernur BI, Agus Martowardojo menilai, bila momentum reformasi struktural berjalan baik maka pertumbuhan ekonomi bisa tembus 5,6%-5,8%.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) antusias mengatasi ketertinggalan pembangunan infrastruktur dengan menggenjot investasi dan ruang fiskal sekira Rp 240 triliun. Infrastruktur akan menjadi urat nadi Indonesia menumbuhkan perekonomian di tahun ini.

Gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo memprediksi pertumbuhan ekonomi nasional dapat menyentuh level 5,8 persen pada akhir 2015. Proyeksi ini sama dengan target pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015.

"Kita ingin memberi penekanan, jika momentum reformasi struktural berjalan dengan baik, (pertumbuhan ekonomi) bisa mengarah ke atas sekira 5,6 persen sampai 5,8 persen," ujar dia di Jakarta, Jumat (2/1/2015).

Pemerintah tengah menjalankan reformasi struktural dari sisi anggaran, mulai dari pengalihan subsidi bahan bakar minyak (BBM), penghematan anggaran perjalanan dinas dan rapat hingga mencabut subsidi Premium serta merealisasikan subsidi tetap pada BBM jenis Solar.

Kebijakan tersebut semakin memperlebar ruang fiskal pada APBN tahun ini hingga tercatat sekira lebih dari Rp 240 triliun. Pemerintahan Jokowi berkomitmen mengalihkan penghematan itu kepada infrastruktur demi peningkatan investasi.

"Kita mendengar penyehatan fiskal senilai Rp 240 triliun. Bisa nggak itu jadi satu anggaran, investasi dan infrastruktur berjalan baik. Kalau bisa dampaknya akan baik," terang Agus.

Tantangan ke depan, menurut dia, harus mengelola fiskal dan moneter secara sinkron. Menyehatkan defisit transaksi berjalan agar tidak melebihi ambang batas 3 persen. Jika gagal dalam pengelolaan tersebut, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia berpotensi terkontraksi.

"Kalau implementasi tidak kuat, (pertumbuhan ekonomi) akan mengarah ke bawah. Neraca transaksi berjalan bisa di bawah 3 persen, tapi waspada di kuartal II akan kembali defisit dengan jumlah cukup besar karena ada tekanan pembayaran dividen ke luar negeri yang cukup tinggi. Ini isu struktural," jelas Agus.(Fik/Ahm)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini