Sukses

Permintaan Kilang Naik, Harga Minyak Kembali Bangkit

WTI untuk pengiriman Februari naik 72 sen menjadi US$ 48,65 oer barel di New York Mercantile Exchange, AS.

Liputan6.com, New York - Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) rebound dari harga terendah dalam lebih dari lima setengah tahun terdorong sentimen akan kuatnya permintaan akan kilang di Amerika Serikat (AS).

Mengutip Bloomberg, Kamis (8/1/2015), harga WTI naik 1,5 persen setelah jatuh di bawah US$ 47 per barel untuk pertamakalinya sejak Maret 2009.

WTI untuk pengiriman Februari naik 72 sen menjadi US$ 48,65 oer barel di New York Mercantile Exchange, AS. Sebelumnya, harga WTI sempat menyentuh level US$ 46,83 dalam perdagangan intraday. Level tersebut merupakan level terendah sejak April 2009.

Minyak Brent untuk pengiriman Februari juga naik 5 sen menjadi US$ 51,15 per barel di London dengan basis ICE Futures Europe Exchange. Sebelumnya, harga Brent sempat menyentuh level US$ 49,66 per barel, terendah sejak April 2009.

Kenaikan harga minyak mentah tersebut karena ada sentimen positif dari investor terhadap data yang dikeluarkan oleh Departemen Energi Amerika Serikat. Kilang-kilang yang berada di negara tersebut telah beroperasi lebih dari 90 persen sejak dua bulan lalu.

Hal tersebut menandakan bahwa masih terjadi pertumbuhan ekonomi yang cukup baik di Amerika yang menyebabkan kinerja kilang tersebut mencapai level tersebut.

Selain itu stok minyak mentah AS juga turun 3,06 juta barel menjadi 382,40 juta barel dalam pekan yang berakhir pada 2 Januari. Menandakan masih cukup banyak permintaan dari industri.

"Kami mendengar banyak hal mengenai pelemahan permintaan belakangan ini, namun permintaan kilang AS untuk minyak mentah masih cukup sehat," jelas analis Again Capital LLC, New York, AS, John Kilduff.

John melanjutkan, harga minyak dunia saat ini memang telah mengalami penurunan jauh dari yang diharapkan. Saat ini harga minyak sedang mencari titik keseimbangan baru.

Harga minyak mentah telah turun tajam sepanjang perdagangan pada tahun lalu. Dalam hitungannya, penurunan yang dialami mencapai 48 persen atau hampir separuhnyq. Penurunan tersebut terbesar sejak krisis keuangan pada 2008 lalu.

Penurunan harga tersebut karena banyak sebab. Pertama karena memang Amerika Serikat terus memompa produksi minyaknya sehingga membanjiri pasar. Selain itu, negara-negara pengekspor minyak yang tergabung dalam OPEC juga tidak setuju untuk membatasi produksi. (Gdn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.