Sukses

Harga Minyak Turun, Negara Ini Rugi Rp 261 Triliun

Pemerintah di negara ini menanggung rugi hingga US$ 21 miliar atau Rp 261,4 triliun lantaran harga minyak turun dalam beberapa bulan saja.

Liputan6.com, Moskow - Harga minyak turun hingga lebih dari 50 persen dalam enam bulan terakhir dan membuat perekonomian beberapa negara penghasil minyak tampak menyedihkan. Salah satunya adalah Rusia di mana pemerintah menanggung rugi hingga US$ 21 miliar atau Rp 261,4 triliun  (kurs: Rp 12.459/US$) lantaran harga minyak turun dalam beberapa bulan terakhir.

Mengutip laman Forbes, Senin (26/1/2015), akibat kondisi tersebut, pemerintah Rusia terpaksa harus menyusun ulang anggarannya yang terkuras habis. Pengaturan anggaran ini merupakan kabar baik bagi para investor yang khawatir Rusia bisa saja mengalami skenario terburuk seperti bangkrut karena utang yang menumpuk.

"Ekonomi Rusia memang menjadi rapuh lantaran harga minyak yang terus menurun," ungkap Perdana Menteri Rusia Dmitry Medvedev.

Terlebih lagi, menurut badan energi Amerika Serikat (AS), Energy Information Administration (EIA), hampir 70 persen pendapatan ekspor Rusia diperoleh dari minyak dan gas.

Wakil Perdana Menteri Rusia Igor Shuvalov mengatakan, pengetatan anggaran akan tergantung pada harga minyak saat ini. Anggaran federal 2015 sebelumnya mengacu pada rata-rata harga minyak di kisaran US$ 100 per dolar.

Faktanya, saat ini harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) berada di kisaran US$ 45,59 per barel pada perdagangan akhir pekan lalu. Sementara harga minyak mentah jenis Brent berada di level US$ 48,79 per barel.

"Kami akan menyusun rencana anggaran baru berdasarkan harga minyak saat ini di pasar," ujar Shuvalov.

Perekonomian Rusia memang mendapatkan hantaman keras dari rendahnya harga minyak dan berbagai sanksi yang dilayangkan Barat serta Eropa. Pada investor berharap Uni Eropa segera menghentikan sanksinya pada Juli tahun ini.

Namun sengketa dengan empat provinsi di Ukraina yang baru saja terjadi dapat berujung pada pembatalan aksi damai Uni Eropa dengan Rusia.

Mantan Perdana Menteri Rusia Alexei Kudrin di World Economic Forum pekan lalu mengatakan bahwa sanksi-sanksi itu akan menggerogoti perekonomian Rusia selama dua atau tiga tahun lagi.

Pada kuartal-III 2014, produk domestik bruto Rusia tumbuh sekitar 0,4 persen. Namun para analis memprediksi pertumbuhannya akan berbalik negatif pada kuartal terakhir tahun lalu.

Tahun ini akan menjadi periode yang semakin sulit bagi Rusia, bahkan jika pemerintahnya melakukan koreksi anggaran. PDB Rusia diprediksi merosot 5 persen tahun ini lantaran harga minyak turun. (Sis/Ndw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini