Sukses

Bukan Mafia, Ini Penyebab Harga Beras Naik

Kenaikkan harga beras kali ini bukan disebabkan karena adanya kartel jika memang yang dimaksud dengan mafia adalah kartel.

Liputan6.com, Jakarta - Belakangan ini, mafia beras disebut-sebut sebagai dalang kenaikan harga beras yang membuat masyarakat resah dalam beberapa pekan terakhir.

Pemerhati pertanian Khudori menjelaskan, terminologi mafia beras pertama dicetuskan Menteri Perdagangan Rahmat Gobel. Menurutnya, kenaikkan harga beras kali ini bukan disebabkan karena adanya kartel jika memang yang dimaksud dengan mafia adalah kartel.

"Saya rasa bukan karena kartel. Sekarang, kalau situasi normal, iklim cuaca normal, Februari harusnya sudah panen sampai Mei. Tapi karena hujan datang terlambat, musim tanam dan panen juga ikut mundur," terangnya dalam diskusi terbuka di Jakarta, Sabtu (28/2/2015).

Khudori menjelaskan, masa panen selama 4 bulan itu kira-kira setara 65 persen dari produksi tahunan. Namun karena kemarau yang terlalu panjang satu hingga dua bulan, maka waktu tanam dan panen ikut mundur yang menyebabkan pasokan di pasar berkurang.

"Indikatornya gampang, seberapa besar beras yang masuk ke pasar induk Cipinang. Situasi normal yang biasanya 3.000 per hari, sekarang berkurang jadi setengahnya. Jadi sesuai hukum suply demand ya harga beras pasti naik," paparnya.

Faktor kedua yang memicu kenaikkan harga beras, menurut Khudori adalah operasi pasar pemerintah yang tidak efektif. Mulai Desember tahun lalu hingga Januari tahun ini, Menteri Perdagangan memang melaporkan telah menggelontorkan 75 ribu ton beras dalam operasi pasar yang dilakukan Bulog dengan menggandeng pedagang.

"Dan ternyata ditemukan beras yang mestinya dijual Rp 7.400 per Kg ternyata tidak ada. Para pedagang tetap menjual dengan harga pasar meski membeli beras dari Bulog," ungkapnya.

Artinya, tujuan dari operasi pasar untuk menekan harga beras dengan membuat para pedagang menjual beras di bawah harga pasar tidak berjalan efektif. Terakhir adalah keterlambatan penyaluran beras miskin (raskin) ke masyarakat. Apalagi ada isu yang mengatakan, raskin akan diganti oleh e-money.

"Padahal ini sandaran 15,5 juta penduduk masyarakat miskin di Indonesia. Alhasil mereka yang seharusnya mendapat jatah raskin ikut memburu beras ke pasar dan membuat permintaan meningkat," tandasnya. (Sis/Nrm)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini