Sukses

Inflasi RI Tinggi, Kenaikan Upah Tiap Tahun Wajar?

Kenaikan upah bukan hanya antara pengusaha dan buruh, tetapi pemerintah juga perlu menjaga inflasi untuk jaga daya beli.

Liputan6.com, Jakarta - Tuntutan buruh meminta kenaikan upah per tahun merupakan hal wajar mengingat tingkat inflasi relatif tinggi di Indonesia.

Direktur Riset Core Indonesia, Mohammad Faisal mengatakan, berdasarkan data rata-rata inflasi Indonesia dari 2010-2014 sebanyak 5 persen. Angka tersebut berada di atas Malaysia, China, dan Filipina. Dengan inflasi tinggi akan menekan daya beli masyarakat.

"Jadi kalau melihat data sebetulnya naik tiap tahun jadi wajar. Argumennya inflasi tinggi, dengan negara lain tidak tinggi," kata dia, Selasa (5/5/2015).

Menimbang hal tersebut, dia menuturkan kenaikan upah bukan hanya perkara antara pengusaha dan buruh. Namun, peran pemerintah diperlukan untuk menahan inflasi lebih baik.

"Kalau harus naik wajar, cuma ketika naik, daya saing industri terjaga, bukan hanya masalah perusahaan dan buruh. Mesti ada campur tangan pemerintah," tutur Faisal.

Dia mengatakan, ada sejumlah cara bisa dilakukan untuk menahan kenaikan upah buruh yaitu dengan meningkatkan fasilitas publik. "Inflasi harus ditahan. Cara yang dilakukan tidak naik yang bebani pengusaha. Mendukung public service kalau angkutan umum, kesehatan, ongkos biaya hidup buruh akan murah," tandas dia.

Perlu Perluas Akses Pasar

Kenaikan upah buruh telah menjadi persoalan rutin tiap tahun. Karena itu, Faisal menilai, persoalan itu tidak perlu terjadi jika pemerintah membantu para pengusaha memperluas akses pasar. Hal itu dilakukan agar beban yang diterima dari upah buruh dapat terpenuhi. Ia mencontohkan, China yang mencatatkan kenaikan upah tetapi tidak menjadi persoalan.

"Misal China kalau lihat upahnya tinggi. Kalau dilihat outputnya luas, pasar global luas. Upah dua kali tidak masalah karena bisa meningkatkan marginnya," kata dia.

Dia menuturkan, pemerintah harus turut menggenjot pasar untuk para pengusaha. Akan tetapi, kondisi Indonesia kurang menguntungkan karena tertekan sejumlah kesepakatan regional.

"Untuk mengembalikan agak sulit, tapi mungkin, pemerintah baru seperti sekarang mereview dengan Jepang. Itu dimungkinkan kalau berdasarkan evaluasi banyak merugikan," kata Faisal.

Dia menuturkan, perlu ada perlindungan terhadap sektor-sektor tertentu sekiranya belum siap merambah pasar global. Dia mencontohkan, seperti industri padat karya yang rata-rata menyerap tenaga kerja berpendidikan rendah.

"Sekarang industri padat karya, itu dijaga. Kita banyak surplus tenaga kerja, rata-rata pendidikan rendah, harus diserap," tandas dia. (Amd/Ahm)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini