Sukses

Harga Minyak Kembali Terperosok

Harga minyak mentah jenis Light Sweet untuk pengiriman Juni turun US$ 2,17 atau 3,7 persen ke level US$ 57,26 per barel.

Liputan6.com, New York - Harga minyak kembali tertekan pada penutupan  perdagangan Selasa (Rabu pagi waktu Jakarta), setelah beberapa hari sebelumnya sempat menguat karena sentimen penurunan pasokan.

Mengutip Fox Business, Rabu (20/5/2015), harga minyak mentah di Amerika Serikat (AS) turun dalam lima sesi perdagangan berturut-turut yang menjadi penurunan terpanjang sejak Maret 2015 lalu. Meskipun harga minyak telah naik lebih dari 30 persen dari level terendah dalam enam bulan terakhir, harga patokan minyak mentah telah melemah 5,7 persen dalam lima sesi terakhir.

Harga minyak mentah jenis Light Sweet untuk pengiriman Juni turun US$ 2,17 atau 3,7 persen ke level US$ 57,26 per barel di New York Mercantile Exchange. Sedangkan minyak Brent yang menjadi patokan harga dunia turun US$ 2,25 atau 3,4 persen menjadi US$ 64,02  per barel.

Dalam catatan perusahaan energi Ritterbusch & Associates, pelaku pasar melakukan aksi jual yang cukup besar yang menjadi awal penurunan harga. Penguatan dolar AS dalam beberapa hari terakhir menjadi tekanan kepada harga minyak. Dengan penguatan dolar AS maka keuntungan yang didapat oleh pelaku pasar yang bertransaksi menggunakan mata uang lainnya menjadi lebih tipis. The Wall Street Journal DOllar Index mencatatkan bahwa kenaikan dolar AS terhadap mata uang utama lainnya naik 0,9 persen.

Pelemahan harga minyak mentah juga dipengaruhi sentimen bahwa pasokan minyak mentah global masih cukup besar. Para pelaku pasar melihat bahwa pasokan yang ada saat ini tidak bisa membuat harga minyak mentah bertahan di atas level US$ 60 per barel dalam waktu yang cukup lama.

Para analis melihat, jika harga minyak bisa bertahan di atas US$ 60 per barel maka produsen minyak di AS akan kembali memompa produksi dengan membuka kembali ladang-ladang minyak yang telah diberhentikan operasionalnya untuk sementara. Kembali berproduksinya ladang-ladang tersebut akan membuat pasokan minyak dunia menjadi berlebih.

"Setiap harga minyak mendekati atau melampaui US$ 60 per barel, secara otomatis akan kembali turun secara cepat," jelas Analis Mobius Risk Group, John Saucer. Seharusnya perusahaan minyak memiliki perhitungan yang akurat mengenai seberapa besar pasokan yang harus dikeluarkan di saat seperti ini.

Kenaikan harga minyak yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir didukung oleh sentimen kenaikan permintaan. Ada potensi membaiknya perekonomian di Eropa dan Amerika sehingga permintaan kembali naik meskipun tak terlalu besar.

Citigroup Inc, perusahaan yang menjadi broker minyak teraktif, pada Selasa kemarin menaikkan perkiraan rata-rata harga minyak di Amerika untuk 2015 ini menjadi US$ 63 per barel dari perkiraan sebelumnya yang berada di level US$ 56 per barel.

Analis Citigroup memberikan catatan, kenaikan harga minyak yang terjadi dalam beberapa pekan terakhir terlalu cepat. Ada saat-saat dimana harga minyak memang harus mengalami penurunan di beberapa masa sepanjang 2015 ini.

Saat ini, pelaku pasar sedang menunggu data persediaan mingguan AS yang akan dirilis oleh Departemen Energi AS. Para analis yang disurvei oleh The Wall Street Journal berharap laporan persediaan minyak mentah yang dikeluarkan Departemen Energi AS turun 1,1 juta barel pada pekan yang berakhir pada 15 Mei 2015. (Gdn/Igw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.