Sukses


Penerbitan Sertifikat Terhambat, Pengembang Surati Menteri

Pengembang akan melaporkan adanya aturan yang menghambat proses sertifikat kepemilikan unit pusat perkantoran dan mal ke Menteri PUPR

Liputan6.com, Jakarta - Realestat Indonesia (REI) berencana melaporkan adanya aturan yang menghambat proses sertifikat kepemilikan unit pusat perkantoran dan pusat perbelanjaan kepada Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Aturan itu dianggap merugikan banyak pihak terutama konsumen serta menganggu iklim investasi industri properti nasional.

Ketua Umum Realestat Indonesia (REI) Eddy Hussy mengungkapkan aturan yang dikeluarkan Kepala Biro Hukum dan Kepegawaian Kementerian Perumahan Rakyat (sebelum nomenklaturnya digabung menjadi Kementerian PUPR) tanggal 30 Desember 2014 yang melarang Badan Pertanahan Nasional (BPN) menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) sarusun non hunian yang meliputi gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan tidak hanya merugikan developer, tapi juga konsumen dan perbankan.

"REI mendapat banyak keluhan dari anggota dan konsumen bahkan notaris dan perbankan akibat seluruh proses penerbitan SHM di-hold. Ini membuat pasar dan konsumen bingung, sehingga pasti menganggu iklim investasi," ungkap Eddy dalam perbincangan dengan Liputan6.com, Rabu (10\6\2015).

Larangan yang berlaku sejak akhir tahun lalu itu sangat memengaruhi penjualan perkantoran dan pusat belanja. Apalagi saat ini permintaan ruang kantor cenderung menurun, demikian juga dengan harga sewanya. Aturan tersebut dinilai REI tidak mendukung keinginan Presiden Joko Widodo untuk mendorong pertumbuhan sektor riil termasuk properti dan konstruksi.

Eddy berpendapat pengembang sebelum memulai konstruksi tentu sudah mengikuti seluruh ketentuan perizinan berlaku dari tata ruang, izin prinsip, izin mendirikan bangunan hingga analisis lingkungan. Oleh karena itu, jika kini tidak dapat melakukan penjualan karena proses sertifikat kepemilikan distop, REI menganggap tidak fair.

"Kami segera melaporkan dan menyurati Menteri Basuki mengenai adanya aturan ini. Kepada BPN kami harap tidak begitu saja menjadikan aturan kontroversial itu," ujar Eddy.

Keresahan ini berawal dari pendapatan Kabiro Hukum dan Kepegawaian Kemenpera kepada BPN DKI Jakarta yang berpendapat bahwa rusun non hunian tidak dapat dilakukan proses hak kepemilikan karena tidak diatur dalam Undang-undang Rumah Susun (Rusun) No 20 tahun 2011. Dalam undang-undang itu hanya diatur mengenai rusun hunian dan rusun campuran.

"Kalau tidak diatur dalam UU Rusun, bukan berarti bertentangan kan? Tidak bisa diartikan tidak boleh atau dilarang. Karena di dalam PP No 4 tahun 1988 tentang Rusun itu rusun non hunian ada diatur, mengacu kesitu saja," kata Ketua Pusat Studi Hukum Properti Indonesia, Erwin Kallo kepada Liputan6.com.

Dia mendesak Menteri PUPR mengkaji kembali aturan ini, sekaligus mengawasi kapasitas dan kapabilitas bawahannya.

Reporter: Muhammad Rinaldi

(Rinaldi/Ndw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.