Sukses

Kapan Fenomena Super Dolar AS Berakhir?

Deputi Gubernur BI, Mirza Adityaswara mengatakan, kepastian kenaikan suku bunga AS akan membuat aliran modal asing kembali ke Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Sejak pernyataan Gubernur The Federal Reserve mengumumkan akan menaikkan suku bunga acuan (Fed Fund Rate) muncul fenomena super dolar Amerika Serikat (AS) akibat spekulasi kebijakan tersebut. Fenomena ini merupakan tren penguatan dolar AS terhadap hampir seluruh mata uang di dunia, termasuk rupiah.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), Mirza Adityaswara mencatat depresiasi nilai tukar Euro terhadap dolar AS sejak Januari-Juli 2015 mencapai lebih dari 10 persen, Dolar Selandia Baru sampai 15 persen dan Krona Swedia 11-12 persen.

Sementara kurs rupiah sejak Januari-Juli (year to date) tertekan 8,5 persen dan 1 persen secara month to date. Angka ini lebih baik dibanding mata uang Singapura, Malaysia dan negara ASEAN lain yang terdepresiasi lebih dari 1 persen.

"Jadi ini bukan fenomena rupiah, tapi fenomena dolar AS," ucap dia saat ditemui di kantornya, Jakarta, Selasa (4/8/2015).

Mirza mengakui pelemahan kurs Rupee India atau Peso Filipina relatif kecil karena India sudah berhasil menurunkan defisit transaksi berjalan secara signifikan dari 4,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 1,5 persen. Negeri Bollywood ini juga menikmati pertumbuhan ekonomi cukup tinggi sehingga mata uangnya stabil.

"Tapi pada saat India mencatatkan defisit 4,5 persen dari PDB, kurs Rupee pun pernah melemah jauh lebih dalam dibanding rupiah," tegas Mirza.

Lalu kapan fenomena dolar AS akan berakhir?

Mirza menilai, penguatan dolar AS akan pergi apabila sudah ada kepastian mengenai kenaikan suku bunga acuan AS. Jika ini terealisasi, maka Indonesia akan kembali menikmati aliran modal asing masuk dan mengurangi tekanan terhadap kurs rupiah.

"Tunggu suku bunga AS, kepastiannya. Jika nanti Fed Fund Rate naik satu atau dua kali, situasi akan kembali normal. Orang akan melihat ada aliran modal asing masuk kembali ke Indonesia dan negara berkembang lain," jelas dia.

Terpenting, dia bilang, Indonesia terus melakukan reformasi dari sisi fiskal melalui berbagai insentif maupun kebijakan lain seperti pemangkasan perizinan. Sebagai contoh, tax allowance, tax holiday, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). "Jadi nanti tiba waktunya di mana perbaikan fundamental struktural Indonesia akan kembali diapresiasi orang," pungkas Mirza. (Fik/Ahm)   

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.