Sukses

RI Belum Masuk Resesi Meski Pertumbuhan Ekonomi Melambat

Amerika Serikat dengan catatan pertumbuhan ekonomi melemah dari 2,9 persen di kuartal I 2015 menjadi 2,3 persen.

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) memastikan bahwa perekonomian Indonesia masih jauh dari resesi ekonomi meski terjadi perlambatan ekonomi sejak kuartal I 2011. Keyakinan tersebut merujuk pada realisasi pertumbuhan ekonomi yang tercatat tumbuh positif.

Kepala BPS, Suryamin mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II 2015 sebesar 4,67 persen. Angka ini turun dari realisasi kuartal sebelumnya 4,72 persen.‎ Secara kumulatif, sambungnya, ekonomi Indonesia bertumbuh 4,7 persen pada semester I 2015 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

"Kita masih tumbuh positif 4,67 persen atau lebih baik dibandingkan negara lain, terutama yang menjadi mitra dagang Indonesia," ucap dia saat Konferensi Pers di kantornya, Jakarta, Rabu (5/8/2015).

Suryamin melaporkan, Amerika Serikat dengan catatan pertumbuhan ekonomi melemah dari 2,9 persen di kuartal I 2015 menjadi 2,3 persen. Pertumbuhan ekonomi Singapura menurun dari 2,1 persen menjadi 1,7 persen‎ dan Jepang di level pertumbuhan 1 persen lebih.

"Jadi tidak resesi, karena dikatakan resesi kalau minimal selama dua kuartal berturut-turut mengalami penurunan atau tumbuh negatif. ‎Seperti di tahun 1998, pertumbuhan ekonomi kita terkontraksi minus 3,9 persen," klaim dia.

‎Menurut Suryamin, sejak kuartal I 2011, pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah mengalami perlambatan sampai kuartal II ini. Pada kuartal I 2011, Indonesia mendulang pertumbuhan ekonomi 6,48 persen dan kini hanya 4,67 persen," papar dia.

Suryamin menjelaskan, penyebab utama pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat karena kondisi serupa yang dihadapi perekonomian global sepanjang periode April-Juni 2015. Hal ini, lanjutnya, sebagai dampak rendahnya harga berbagai komoditas di pasar internasional. Komoditas yang masih mencatatkan penurunan harga‎, yakni jagung, beras, kedelai, daging sapi, bijih timah, bijih besi dan sebagainya.

"Pemicu lainnya karena ketidakpastian kondisi pasar keuangan terkait ketidakpastian kenaikan suku bunga acuan The Federal Reserve (Fed Fund Rate)," terangnya. (Fik/Gdn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.