Sukses

Devaluasi Yuan Jatuhkan Harga Minyak Mentah

Pemasok di seluruh dunia masih berjuang menggenjot output dan menurunkan harga yang telah susut hampir 60% dari posisi tertingginya di 2014.

Liputan6.com, New York - Harga minyak mentah dunia jatuh ke posisi terendah dalam enam tahun pada Rabu (12/8/2015) ini, usai pemerintah China mengambil langkah melakukan devaluasi mata uangnya, Yuan.

Harga minyak juga dipengaruhi keyakinan bahwa permintaan global tidak bisa mengejar membanjirnya pasokan di pasaran. 

Melansir laman Wall Street Journal, harga minyak mentah light sweet untuk pengiriman September turun US$ 1,88 (4,2 persen) menjadi US$ 43,08 per barel di New York Mercantile Exchange. Ini menjadi yang terendah sejak 11 Maret 2009, ketika perekonomian AS masih belum pulih dari krisis keuangan.

Sementara harga minyak mentah Brent, patokan global, turun US$ 1,23 (2,4 persen) ke posisi US$ 49,18 per barel di ICE Futures Europe. 

Harga minyak terkena sentimen dari tingginya produksi yang mendekati level tertinggi dalam sejarah di Amerika Serikat dan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak, menurut data terbaru.

Hal ini menunjukkan pemasok di seluruh dunia masih berjuang menggenjot output dan menurunkan harga yang telah susut hampir 60 persen dari posisi tertingginya di 2014.

Pukulan terbaru yang menghantam harga minyak datang dari Cina, yang mendevaluasi mata uangnya. Kebijakan China ini menyebarkan pesimisme di kalangan investor tentang ekonomi negara ini dan kemungkinan perang mata uang.

Yuan tercatat mengalami pelemahan terbesar satu hari dalam dua dekade menyusul keputusan bank sentral China ini.

Risiko dari kebijakan ini membuat komoditas impor ke China yang dihargakan dalam dolar seperti minyak menjadi lebih mahal. Ini menjadi tanda penurunan permintaan dari konsumen minyak terbesar kedua di dunia ini, kata para analis.

Hal ini juga bisa membuat dolar reli, faktor yang telah berulang kali mendorong harga minyak mentah menjadi lebih rendah.

"Ini menunjukkan bahwa ekonomi Cina masih berjuang untuk keluar dari pola perlambatan dan menjadi lonjakan pertumbuhan," jelas Dominick Chirichella, Analis Energy Management Institute dalam catatannya.

"Secara keseluruhan itu terus menunjukkan bahwa mesin pertumbuhan utama minyak dunia tidak akan datang untuk menyelamatkan dari kelebihan pasokan pasar global minyak dalam waktu dekat," jelas dia.

Sebelumnya Lembaha Administrasi Informasi Energi AS menurunkan proyeksi harga minyak AS dan spot global sekitar 10 persen. Harga minyak AS diprediksi berada di posisi US$49,62 per barel dan Brent di US$ 54,40 per barel pada tahun ini.(Nrm/Igw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.