Sukses

Strategi Emiten Farmasi Hadapi Rupiah Terpuruk

Nilai tukar rupiah melemah ditambah ekonomi melambat juga membuat manajemen emiten farmasi belum dapat menyesuaikan harga jual.

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menekan kinerja keuangan emiten di pasar modal Indonesia termasuk emiten farmasi. Sejumlah emiten farmasi pun memutar otak untuk menghadapi depresiasi rupiah tersebut.

Melihat data kurs tengah Bank Indonesia (BI), rupiah terhadap dolar AS dari awal tahun hingga Kamis 20 Agustus 2015 telah melemah 10,93 persen ke posisi 13.838. Emiten farmasi pun mengatur strateginya untuk menghadapi pelemahan rupiah tersebut.

Direktur PT Kalbe Farma Tbk, Vidjongtius menuturkan kondisi nilai tukar rupiah tembus 13.800 ini memang cukup berat. Bila nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih terus tertekan maka itu dapat membuat margin perseroan turun.

Hal itu lantaran perseroan belum dapat menyesuaikan harga jual produk mengingat kondisi ekonomi Indonesia melambat.Tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II 2015 sebesar 4,67 persen, atau melambat dari realisasi kuartal sebelumnya 4,72 persen. Ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,7 persen hingga semester I 2015, turun dari periode sama tahun lalu sekitar 5,17 persen.

"Kondisi hari ini cukup berat dan menantang. Rupiah sudah depresiasi lebih dari 10 persen. Kenaikan harga jual produk pun tidak bisa disesuaikan karena kondisi ekonomi hanya tumbuh 4,7 persen. Situasi seperti ini tidak pas untuk menyesuaikan harga. Tantangan ke depan cukup ketat," ujar Vidjongtius saat berbincang dengan Liputan6.com, seperti ditulis Minggu(23/8/2015).

PT Kalbe Farma Tbk pun menargetkan pertumbuhan laba sekitar 6-7 persen pada 2015. Sedangkan penjualan, Vidjongtius mengatakan, pihaknya menurunkan target penjualan menjadi sekitar 5-7 persen.

Hingga semester I 2015, perseroan mengantongi penjualan Rp 8,71 triliun dari periode sama tahun sebelumnya Rp 8,37 persen. Laba periode berjalan menjadi Rp 1,06 triliun pada semester I 2015. Perseroan menganggarkan belanja modal sekitar Rp 1 triliun.

Sementara itu, Sekretaris Perusahaan PT Indofarma Tbk Yasser Arafat mengatakan kondisi nilai tukar rupiah sekarang memang mengkhawatirkan. Akan tetapi pihaknya telah mengikat kontrak bahan baku dari harga periode sebelumnya jadi  belum terlalu berpengaruh.

"Kami sudah beli bahan baku dengan harga terjangkau dan melakukan kontrak jangka panjang. Jadi sekarang belum ada pengaruh," kata Yasser.

Yasser malah mengkhawatirkan kondisi dolar AS bila terus menguat tahun depan. Hal itu mengingat pasokan bahan baku harus impor. Selama ini perseroan mendapatkan pasokan bahan baku dari Cina, India dan Eropa.

"Kami punya supplier dari China tetapi dalam kontrak tersebut berdasarkan dolar AS jadi ketikaYuan melemah tidak terlalu pengaruh," tutur Yasser.

Yasser menambahkan, pihaknya mempertimbangkan untuk diskusi dengan supplier untuk memakai Yuan. Hal itu menghadapi nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS.

Sedangkan Vidjongtius menuturkan pihaknya akan mereview produk-produk yang memimpin pangsa pasar untuk menaikkan harga jualnya. Akan tetapi, kalau produk biasa saja, perseroan tidak akan menaikkan harga mengingat persaingan.

Selain itu, perseroan juga mencari alternatif bahan baku murah. "China mendevaluasi mata uangnya sehingga jadi lebih murah barang-barangnya. Kami sedang mencari alternatif bahan baku. Kami juga melakukan efisiensi internal tapi ini butuh waktu. Efisiensi ini terutama dari produksi," kata Vidjongtius. (Ahm/Igw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini