Sukses

Harga Minyak Kembali Menguat ke Atas US$ 45 per Barel

Para analis memperkirakan bahwa kenaikan harga minyak tidak akan berlangsung lama.

Liputan6.com, New York - Harga minyak kembali melonjak pada penutupan perdagangan Jumat (Sabtu pagi waktu Jakarta). Kenaikan harga minyak ini terjadi dalam dua hari berturut-turut dan merupakan kenaikan terbesar (dalam presentase) sejak 2009. Ada beberapa sentimen yang menjadi pendorong kenaikan harga minyak tersebut.

Mengutip Wall Street Journal, Sabtu (29/8/2015), harga minyak mentah jenis Light Sweet untuk pengiriman Oktober ditutup naik US$ 2,66 per barel atau 6,2 persen ke level US$ 45,22 per barel di New York Mercantile Exchange. Harga tersebut merupakan penutupan tertinggi sejak 4 Agustus 2015 lalu. Kenaikan harga minyak jenis Light Sweet tersebut mencapai 12 persen pada pekan ini, merupakan kenaikan terbesar dalam satu minggu terhitung sejak Februari 2009.

Sedangkan harga minyak Brent, yang merupakan harga patokan untuk perdagangan dunia, naik US$ 2,49 per barel atau 5,2 persen ke level US$ 50,05 per barel di ICE Futures Europe. Sepanjang pekan ini, harga patokan tersebut mengalami kenaikan 10 persen.

Ada beberapa sentimen yang mendorong kenaikan harga minyak pada perdagangan dua hari terakhir ini.

Sentimen pertama adalah membaiknya data-data ekonomi Amerika Serikat (AS). Data terakhir yang keluar adalah mengenai belanja konsumen. Data tersebut menunjukkan bahwa belanja konsumen di AS mengalami kenaikan pada Juli kemarin didorong oleh kenaikan pandapatan penduduk. Membaiknya data tersebut menunjukkan perekonomian di AS sudah mulai pulih sehingga akan mendorong produksi lebih besar lagi yang akan membuat permintaan akan minyak kembali tinggi.

Sentimen kedua adalah beberapa perusahaan minyak dan gas yang beroperasi di Nigeria menghentikan ekspor. Dengan tidak ekspornya perusahaan-perusahaan tersebut maka dapat mengurangi pasokan minyak mentah di dunia sehingga dapat mendongkrak harga minyak kembali.

Sentimen ketiga yang mempengaruhi harga minyak adalah Venezuela yang ingin mengadakan pertemuan dengan Organisasi negara pengekspor minyak OPEC untuk menanggapi rendahnya harga minyak. Langkah Venezuela tersebut menandakan bahwa negara anggota OPEC sudah mulai merasa gerah dengan penurunan harga minyak ini sehingga menginginkan agar OPEC bisa mengeluarkan kebijakan soal jumlah produksi untuk kembali mengangkat harga minyak.

Namun memang, meskipun mengalami kenaikan yang cukup tinggi dalam dua hari terakhir, para analis memperkirakan bahwa kenaikan tersebut tidak akan berlangsung lama atau besar kemungkinan harga akan kembali anjlok karena adanya kekhawatiran mengenai pasokan minyak mentah yang berlebih.

"Apakah hal-hal fundamental telah membuah harga minyak kembali menguat? Saya kira tidak. Pada akhirnya masih banyak pasokan minyak di dunia," jelas Wakil Kepala Riset dan Analis Mobius Risk Group, Houston, AS, John Saucer.

Direktur Utama Excel Futures broker, Mark Waggoner di awal pekan saat harga minyak berada di level US$ 61 per barel telah bertaruh bahwa harga minyak akan terus tertekan. Sedangkan John Saucer berencana untuk melakukan kalkulasi ulang mengenai target harga sampai akhir tahun jika reli harga minyak bisa menyentuh level US$ 48,50 per barel.

"Tidak ada alasan bagi harga minyak untuk tidak turun pada saat ini," jelas Waggoner. Ia melihat bahwa produksi OPEC masih berada di level yang tinggi sedangkan pembeli minyak mentah masih cukup sedikit sehingga antara permintaan dan penawaran tidak seimbang. (Gdn/Ahm)

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini