Sukses

Proposal Kereta Cepat Ditolak, Pembangunan Infrastruktur Molor

Pemerintah seharusnya telah berhitung berapa biaya yang dikeluarkan, penggunaan dana, kelaikan serta urgensi kereta cepat.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah akhirnya memutuskan untuk menolak dua proposal yakni Jepang dan China atas kereta cepat rute Jakarta-Bandung. Pengamat Ekonomi Universitas Padjajaran Ina Primiana mengatakan keputusan ini akan membuat cita-cita pemerintah dalam pembangunan infrastruktur semakin molor.

"Kalau begini sudah jelas mundur pembangunan infrastruktur," kata dia kepada Liputan6.com, Jakarta, Jumat (4/9/2015).

Dia mengatakan, keputusan tersebut dinilai terlalu lambat. Padahal, pemerintah memiliki banyak waktu untuk menilai proyek tersebut.

Ina melanjutkan, pemerintah sendiri seharusnya telah berhitung berapa biaya yang dikeluarkan, penggunaan dana, kelaikan serta urgensi kereta cepat.

"Menurut saya pemerintah kan bisa berhitung, kenapa baru sekarang dikatakan tepat tidak kereta cepat, ini sudah rencana lama, kalau begitu kita bakal mundur terus. Kalau mau buat kereta cepat tidak apa-apa," jelasnya.

Terkait proses pengambilan keputusan, dua kementerian yakni Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memberi sinyal yang berbeda.

Menteri BUMN Rini Soemarno mengarah pada China dengan menunjuk PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) bersama konsorsium BUMN China. WIKA sendiri akan masuk dalam konsorsium dengan peruhaan pelat merah lain yakni PTPN VIII, INKA, LEN Industri, KAI, dan Jasa Marga.

Sebaliknya, Menteri Perhubungan Ignasius Jonan berkiblat pada Jepang dengan memberi tanda jika keselamatan adalah hal yang utama.

Ina berpendapat, dengan hal tersebut menunjukan jika koordinasi dalam pemerintahan belum terjalin dengan baik. Seharusnya, lanjut dia pemerintah satu suara dalam pembangunan nasional.

"Iya, itu yang seharusnya dihindari, jadi jangan sampai ini hanya karena tarik menarik kepentingan. Murni karena hitung-hitungan bisnis. Hal ini memang menunjukkan pemerintah tidak satu suara. Kemenhub waktu itu juga terkait dengan pelabuhan Cilamaya merekomendasikan Jepang yang kenyataannya bertentangan dengan kepentingan nasional," tandas dia.

Untuk diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak proposal proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang diajukan oleh China dan Jepang.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution usai Rakor Deregulasi menjelaskan secara detail mengenai hasil pembahasan antara Tim Penilai dengan Presiden Jokowi perihal kereta cepat yang disampaikan Kamis siang 3 September 2015.

Dia menegaskan keputusan Jokowi pertama adalah pembangunan kereta cepat tidak boleh menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) langsung maupun tidak langsung. Baik dalam bentuk dana maupun suntikan modal melalui Penyertaan Modal Negara (PMN), serta penjaminan dari pemerintah.

Darmin menuturkan, jarak Jakarta-Bandung sekira 150 Kilometer (Km) membutuhkan 5 stasiun sampai 8 stasiun. Walau Shinkansen melesat dengan kecepatan 300 Km per jam, diakuinya, tidak akan pernah bisa mencapai kecepatan maksimum itu karena perlu waktu tempuh 14 menit.

Jadi disimpulkan Darmin, kereta belum sampai kecepatan penuh sudah mulai harus direm, sehingga kecepatan paling mentok 200 Km-250 Km per jam.

"Keputusan Presiden adalah kalau begitu jangan kereta cepat. Cukup kereta kecepatan menengah yang melesat dengan kecepatan 200 Km-250 Km per jam," terang Darmin.

Dengan kereta berkecepatan sedang, sambung dia, jarak tempuh hanya akan melambat 10 menit sampai 11 menit dari kereta cepat. Namun biaya investasinya bisa 30 persen-40 persen lebih murah dibanding membangun kereta Shinkansen.

Darmin mengatakan, hasil penilaian dari konsultan independen, Boston Consulting Group (BCG) disebutkan kedua proposal China dan Jepang sama-sama tidak merinci banyak hal soal kereta cepat, seperti standar pemeliharaan, standar pelayanan dan lainnya.

"Jadi Indonesia perlu merumuskan kereta api seperti apa yang diperlukan, misalnya di mana stasiun yang akan dibangun, di mana bersimpangan dengan kereta lain, ya mungkin berbatasan dengan kereta api ringan supaya jadi lebih optimum kegunaannya," tutur dia.

China dan Jepang, tambahnya, perlu memikirkan pengembangan wilayah paska stasiun terbangun yang akan berpotensi meningkatkan pertumbuhan pembangunan properti secara massal. "Semua itu harus dituang dalam kerangka kerja acuan. Jadi Presiden bentuk tim untuk menyusun kerangka acuan. Setelah itu, Jepang dan China dipersilakan menyusun proposal baru," terang dia. (Amd/Gdn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini