Sukses

‎Ini Penyebab Perbankan Bisa Bangkrut

Semakin besar risiko yang diambil, maka besar pula modal yang wajib dimiliki bank.

Liputan6.com, Jakarta - Perbankan bak jantung ekonomi bagi sebuah negara. Indonesia mempunyai pengalaman pahit dilanda krisis perbankan hebat pada 1998. Sektor perbankan rentan dengan berbagai risiko, terutama risiko sistemik, yakni kegagalan bank yang berdampak terhadap ekonomi dalam jangka panjang.

Komisaris Independen PT Bank Mandiri Tbk, Goei Siauw Hong dalam Diskusi Media Training : Memahami Industri Perbankan mengungkapkan, kegagalan perbankan menyebabkan kerugian lebih besar kepada nasabah dibanding pemegang saham atau pemilik modal.

"Kalau bank sampai bangkrut yang dirugikan nasabah, seperti saat krisis 1998. Perbankan kolaps berimbas besar ke pengusaha. Mereka tidak bisa mendapat kredit dan akhirnya kegiatan perekonomian tidak bisa berjalan. Itulah kenapa kolaps karena fungsi penyaluran kredit ke pelaku usaha mandek," ujar dia di Malang, Jumat (11/9/2015).

Lebih jauh dijelaskan Goei, guna menghindari kegagalan bank, regulator membuat aturan yang mengatur kecukupan modal dan likuiditas. Inilah kunci agar kesehatan perbankan terjaga dan terhindar dari risiko sistemik. Kecukupan modal ini, diakuinya, dikaitkan dengan risiko yang diambil bank.

Semakin besar risiko yang diambil, maka besar pula modal yang wajib dimiliki bank. Modal bank bisanya hanya berkisar 10 persen-15 persen dari total aset yang dimiliki. Artinya sebagian besar kegiatan bank dibiayai dari pinjaman alias Dana Pihak Ketiga (DPK) seperti giro, tabungan, deposito.

"Supaya bank tidak bangkrut, pemegang saham harus setor modal cukup. Fungsi modal ini untuk melindungi nasabah yang punya deposito (deposan)," terang Goei.

Menurutnya, ada empat risiko utama yang bisa mengancam kelangsungan bisnis para bankir, yakni risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional dan risiko likuiditas. Dia menuturkan, risiko kredit merupakan kerugian akibat gagal bayar dari debitur bank. Risiko ini bisa timbul dari kredit macet, transaksi forward atau derivatif (treasury), investasi dan pembiayaan perdagangan.

"Risiko pasar terjadi karena perubahan faktor pasar, yaitu perubahan suku bunga dan nilai tukar. Misalnya saja, kenaikan suku bunga mengakibatkan harga obligasi turun dan timbul kerugian bagi bank," ujar dia.

Ketiga, risiko operasional. Goei menambahkan, kerugian ini disebabkan faktor sistem, seperti kegagalan teknologi informasi bank yang disebabkan komputer di hack, kegagalan ATM dan sistem off line. Faktor manusia karena kejahatan internal, kompetensi karyawan tidak memadai dan perselisihan perburuhan.

Dari faktor proses internal, lanjutnya, akibat kegagalan proses dan prosedur bank. Misal proses pengecekan yang kurang memadai dan kejadian eksternal akibat sesuatu di luar kendali bank, contohnya perampokan, kebakaran, gempa bumi dan lainnya. 

Keempat, risiko likuiditas akibat ketidakmampuan ‎bank memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas atau dari aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagungkan.

Selain itu, kata dia, bank juga menghadapi risiko lain selain empat risiko utama, antara lain risiko hukum, risiko reputasi, risiko strategik dan risiko kepatuhan. Risiko hukum terkait kelemahan kontrak atau tuntutan hukum, risiko reputasi persepsi negatif terhadap bank, risiko strategik akibat perencanaan st‎rategis yang kurang baik, dan risiko kepatuhan diakibatkan adanya pelanggaran peraturan perundangan yang berlaku.

"Jadi kalau empat risiko utama ini penting untuk dikelola dengan baik dan harus diantisipasi dengan kecukupan modal. Jika tidak, perbankan bisa babak belur atau bangkrut," tegas Goei. (Fik/Gdn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.