Sukses

RI Versus Arab, Mana yang Tahan dengan Anjloknya Harga Minyak?

Penerimaan APBN di Arab Saudi dominan berasal dari ekspor minyak. Sedangkan pendapatan negara di Indonesia bersumber dari pajak.

Liputan6.com, Jakarta - Harga minyak dunia diprediksi anjlok hingga menyentuh level US$ 20 per barel pada akhir tahun ini. Dengan kondisi tersebut, bagaimana nasib Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)? Apakah target defisit anggaran 1,9 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau Rp 222,5 triliun pada APBN Perubahan 2015 menjadi semakin melebar?

Pada posisi kemarin (15/9/2015), harga minyak mentah berada di kisaran US$ 40 per barel. Dengan harga yang terus tertekan, negara kaya minyak, Arab Saudi mengalami defisit anggaran pertama kalinya pada tahun ini, bahkan diperkirakan sampai 20 persen dari PDB.

Sebenarnya apa perbedaan postur anggaran negara Indonesia dengan Arab Saudi? Mana dari APBN kedua negara yang punya tingkat risiko tinggi jika harga minyak dunia jatuh ke level terendah?

Direktur Jenderal (Dirjen) Anggaran Kementerian Keuangan, Askolani mengungkapkan ada beberapa perbedaan antara APBN Indonesia dengan Arab Saudi. Pertama, katanya, penerimaan APBN di Arab Saudi dominan berasal dari ekspor minyak. Sedangkan pendapatan negara di Indonesia bersumber dari pajak.

"Kedua, pemerintah Arab Saudi mengalokasikan subsidi tinggi. Kalau kita kan justru diturunkan subsidinya. Sehingga kalau mau langsung diadu APBN kita dan Arab Saudi, risiko APBN negara itu lebih tinggi," papar dia saat berbincang di Gedung DPR, Jakarta, semalam (15/9/2015).

Lebih jauh Askolani menuturkan, kondisi anggaran negara Arab Saudi mirip dengan Rusia yang mengandalkan ekspor minyak sebagai sumber utama pendapatan negaranya. Kedua negara ini langsung terpukul karena penurunan harga minyak dunia.

"Ketika harga minyak anjlok, mereka langsung jatuh. Rusia malah lebih parah. Tapi Arab Saudi harus menerima konsekuensinya karena mereka tidak mau menurunkan produksi minyak. Mereka harus pikirkan dampaknya, apakah punya tabungan atau Saldo Anggaran Lebih (SAL). Jika punya berapa lama tahannya," tegas dia.

Indonesia, kata Askolani, telah mengambil kebijakan tepat dengan mengurangi subsidi energi secara signifikan sehingga sensitifitasnya lebih terkendali terhadap anggaran negara. Dia bercerita, Indonesia berpotensi kehilangan pendapatan dari penurunan harga minyak Rp 130 triliun saat pengajuan APBN-P 2015.

"Tapi kita bisa kendalikan subsidi energi yang tadinya Rp 250 triliun, bisa jadi Rp 100 triliun. Lalu kita push sumber penerimaan lain. Sebenarnya kita selangkah lebih maju. Jika tidak diubah dari sekarang, kita bisa kena (seperti Arab Saudi), tapi kita antisipasi lebih dulu," terang dia.

Menurut Askolani, Indonesia akan terbantu dengan pelemahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Lanjutnya, penerimaan negara dari minyak dan gas (migas) berpeluang naik akibat depresiasi nilai tukar. "Jadi saling mengkompensasi dari penurunan harga migas," pungkasnya. (Fik/Gdn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini