Sukses

Melihat Prospek Saham Emiten Pakan Ternak

Emiten pakan ternak memiliki potensi tumbuh seiring konsumsi ayam masih rendah di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - Kinerja emiten pakan ternak belum memuaskan hingga semester I 2015. Kenaikan sejumlah beban terutama nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) turut menekan kinerja emiten pakan ternak.

PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN) membukukan penjualan naik tipis 5,74 persen menjadi Rp 15,25 triliun pada semester I 2015 dari periode sama tahun sebelumnya Rp 14,42 triliun. Tetapi, laba bersih turun 23,31 persen menjadi Rp 959,24 miliar.

Sementara itu, dua emiten pakan ternak mengalami rugi bersih. PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) membukukan rugi sekitar Rp 272,12 miliar pada semester I 2015 dari sebelumnya untung Rp 325 miliar. Penjualan turun tipis 0,35 persen menjadi Rp 12,14 triliun.

Sedangkan PT Malindo Feedmill Tbk (MAIN) mencetak penjualan bersih melemah 0,20 persen menjadi Rp 2,3 triliun. Akan tetapi perseroan mengalami rugi Rp 84 miliar dari periode sama tahun sebelumnya untung Rp 88 miliar.

Dalam riset PT BNI Securities yang dikutip Kamis (17/9/2015), emiten pakan ternak menghadapi volatilitas bahan baku untuk produksi pakan ternak. Hal itu terutama jagung dan kedelai masih diimpor dari luar negeri. Memang harga internasional jagung dan kedelai telah menurun masing-masing 10 persen dan 12 persen secara year to date (Ytd).

Harga bahan baku ini diperkirakan masih tertekan hingga akhir 2015. Asosiasi pakan ternak pun menyatakan kalau stok jagung untuk kebutuhan ternak masih sekitar 1,6 juta ton. Stok ini dapat dikatakan aman untuk dua bulan dengan asumsi 800 ribu ton. Ketersediaan bahan baku juga menjadi poin penting bagi emiten.

Apa lagi Kementerian Pertanian telah menghentikan impor jagung untuk pabrik pakan ternak. Bulog pun dimungkinkan untuk impor jagung di awal tahun depan. Hal ini dilakukan sejalan dengan program swasembada pemerintah pada makanan. Pemerintah diharapkan dapat melakukan manajemen stok untuk mengatasi kelangkaan di pasar.

"Pembatasan izin impor bagi produsen pakan ternak juga harus diimbangi dengan ketersediaan pasokan bahan baku secara nasional. Bila ada kekurangan pasokan maka akan ciptakan masalah baru bagi industri unggas," kata Dessy.

Dolar AS Perkasa Pengaruhi Kinerja Perseroan

Akan tetapi, sejumlah perusahaan masih berjuang terhadap pergerakan nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar AS. Analis PT BNI Securities Dessy Lapangu mengatakan rupiah tertekan juga mempengaruhi biaya produksi industri unggas. Rupiah telah depresiasi sekitar 13 persen secara year to date (Ytd).

Di tengah kondisi tersebut, emiten pakan ternak sebenarnya memiliki peluang pertumbuhan di masa depan. Hal itu mengingat tingkat konsumsi ayam masih cukup rendah di Indonesia bila dibandingkan dengan negara lain.Konsumsi ayam di Indonesia diperkirakan sekitar 8 kilogram/kapita per tahun. Angka ini cukup rendah dibandingkan Malaysia yang mencapai 38 kg/ kapita  per tahun.

Kebiasaan masyarakat Indonesia masih mengandalkan food grains sebagai sumber protein menjadi kendala bagi peningkatan potensi konsumsi industri ayam di Indonesia. Dessy melihat, prospek industri unggas juga memainkan peran penting untuk mengembangkan industri terintegrasi dari hulu ke hilir. Bahkan industri tersebut dapat memberikan kontribusi lebih dari 50 persen dari total produksi daging nasional.

"Namun sebagian besar besar kota besar memainkan bagian penting sebagai faktor pertumbuhan penting untuk tingkat konsumsi masyarakat Indonesia karena didukung oleh kenaikan restoran makanan cepat saji dan membaiknya teknologi untuk makanan beku," jelas Dessy.

Selain itu, pemerintah telah membatasi impor grand parent stock (GPS). Langkah ini dilakukan untuk mengatasi isu kelebihan pasokan. Pemerintah telah memangkas GPS 55 ribu dari sebelumnya total 720 ribu menjadi 665 ribu.

Ini juga berdampak positif untuk kestabilan industri yang didukung pemulihan ekonomi mulai 2016."Diharapkan peran pemerintah tersebut memberikan sebuah awal baru untuk memulihkan industri. Seiring peraturan ini maka industri unggas dapat pulih pada kuartal IV 2015, dan berlanjut hingga 2016," kata Dessy.

Namun, tantangan emiten pakan ternak harus menghadapi daya beli masyarakat Indonesia menurun. Industri juga sulit untuk tumbuh di tengah kenaikan harga daging ayam.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Rekomendasi Saham

Rekomendasi Saham

 PT BNI Securities memilih tiga emiten pakan ternak yang merupakan pemain utama dalam industri unggas antara lain PT Charoen Pokpand Indonesia Tbk, PT Malindo Feedmill Tbk, dan PT Japfa Comfeed Tbk

Ada pun salah satu pilihan sahamnya yaitu karena PT Charoen Pokpand Indonesia Tbk meski mengalami perlambatan kinerja keuangan yang ditunjukkan dalam pertumbuhan laba turun 23,3 persen menjadi Rp 959 miliar. Akan tetapi, perseroan mampu mempertahankan keuntungan yang masih positif.

Penjualan naik tipis 5,74 persen menjadi Rp 15,25 triliun pada semester I 2015."Kami mempertahankan rekomendasi beli dengan harga Rp 2.500 per saham," ujar Dessy.

Kepala Riset PT Koneksi Kapital Alfred mengatakan penguatan dolar Amerika Serikat memberikan dampak negatif terhadap perseroan. Hal itu lantaran bahan baku impor cukup besar sehingga menambah ongkos produksi ditambah  pinjaman.

"Bahan baku barang impornya cukup besar, menguatnya dolar AS menambah ongkos produksi. Selain itu, pinjaman perusahaan dalam bentuk dolar menekan kinerja saham CPIN. melihat kedua hal tersebut besar margin tertekan karena pengutan dolar AS," ujar Alfred saat dihubungi Liputan6.com.

Alfred juga mengatakan kinerja PT Charoen Pokpand Indonesia Tbk dalam  menjalani semester kedua 2015 cukup sulit. Hal itu lantaran cukup
banyaknya pemain pada komoditi ayam.

Alfred juga menerangkan distribusi menjadi faktor utama dalam meningkatkan kinerja perusahaan namun hal tersebut tentunya membutuhkan biaya. Selain itu, perseroan masuk ke produk minuman white tea, Alfred menilai perseroan ingin  mengoptimalkan peluang pada industri hilir berupa food and beverage. Namun Alfred melihat prospek produk minuman jenis white tea yang akan diluncurkan perseroan tidak akan mudah.  

"PT Charoen Pokpand Tbk sedang uji coba memanfaatkan jalur distribusi, dan itu tidak gampang, akan sulit jika tidak menjadi top brand. Tidak optimistis dapat masuk top brand karena segmen minuman di Indonesia sudah lengkap dan relatif sempit," kata Alfred.

Hingga akhir tahun, Alfred memperkirakan saham PT Charoen Pokpand Tbk bergerak terbatas hingga kisaran level 2.100 "Sahamnya mahal, saham CPIN PE-nya (Price Earning Ratio)  sudah 17 kali jadi pergerakannya sudah terbatas. Kemungkinan jika akhir tahun ini IHSG berada berada pada level 4.900, maka saham PT Charoen Pokpand berada di kisaran 2.100," kata Alfred. (Ilh/Ahm)

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.