Sukses

RI Tak Mau Kecanduan Utang seperti Yunani

Yunani bangkrut akibat kesalahannya kecanduan berutang di masa lalu.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah membeberkan risiko buruk sebuah negara akibat kecanduan utang. Indonesia tak ingin bernasib sama seperti Yunani yang bangkrut akibat tidak sanggup melunasi utang dari lembaga keuangan internasional maupun investor.

Menurut Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro, Indonesia tak ingin terjebak dalam jerat utang untuk menambal defisit pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal itu dapat berdampak buruk bagi negara ini.

"Kami tidak mau terjebak utang terlalu besar untuk APBN karena kemudahan berutang sebab bisa berisiko seperti Yunani," tegas dia saat ditemui di acara Peluncuran ORI Seri 012, Jakarta, Senin (21/9/2015).

Lebih jauh Bambang mengatakan, Yunani bangkrut akibat kesalahannya kecanduan berutang di masa lalu. Ketika itu, ia menambahkan, Yunani sangat mudah mencari utang di pasar Eropa tanpa melihat akibatnya karena basis penduduk Eropa kecil.

"Kalau keenakan berutang, ketika ada gejolak global, tidak siap membayar utang karena yield jadi tinggi. Kelemahan jika kecanduan utang, jadi malas menarik pajak. Memungut pajak seadanya saja, tidak pernah ada usaha serius memperkuat pajak," terangnya.

Dilihat dari rasio utang Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto, kata Bambang, terjaga di level 25 persen. Catatan ini berbeda dengan rasio utang publik Jepang yang mencapai 250 persen dari PDB. Meski lebih rendah bukan berarti kondisi utang aman.

Ia melanjutkan, karakteristik utang pemerintah antara Indonesia dan Jepang sangat jauh berbeda. Surat utang Jepang didominasi warga Negeri Sakura dengan porsi 91 persen, sementara asing hanya memegang surat berharga negaranya 9 persen.

Indonesia, sambung dia, komposisi kepemilikan asing di surat utang Indonesia sebesar 38 persen dan 62 persen porsi warga domestik. Warga Jepang, diakui Bambang, mempunyai kesetiaan terhadap instrumen surat utang yang dimiliki negaranya.

"Itu karena komposisi domestik yang punya surat utang kita kurang besar, jadi ada potensi terjadi sudden reversal. Oleh karena itu, investor domestik harus diperkuat supaya risiko utang makin kecil," jelas Bambang.

Ke depan, dia berharap Indonesia bisa mengikuti jejak Jepang yang mempunyai basis investor domestik besar dalam instrumen surat utang negara. "Kita ingin model pembiayaan seperti Jepang, yang aktif investasi level ibu-ibu rumah tangga. Jadi tidak ada lagi isu sudden reversal karena merekalah penentu investasi," tutur Bambang. (Fik/Gdn/Sar)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.