Sukses

Mengelola Krisis di Industri Hulu Minyak dan Gas Bumi

Industri migas tergolong industri dengan risiko tinggi, karena itulah pengelolaan krisis menjadi perhatian utama.

Liputan6.com, Jakarta Sebagai sebuah sektor yang memiliki peran vital bagi perekonomian bangsa, sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) sangat membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Mungkin banyak yang belum mengetahui bahwa sifat bisnis dan usaha di sektor hulu migas memiliki risiko tinggi dan membutuhkan modal besar.

Industri migas tergolong industri dengan risiko tinggi, karena itulah berbagai aspek harus dipertimbangkan secara matang, diantaranya aspek kesehatan dan keselamatan kerja serta lindungan lingkungan (health, safety, and environment) sangat dijaga. Dampak insiden yang berpotensi membahayakan keselamatan pekerja maupun lingkungan sebisa mungkin akan diminimalisir.

Selalu menjaga kesehatan dan keselamatan kerja serta lindungan lingkungan  menjadi komitmen utama dalam menjalankan kegiatan usaha, sektor hulu migas. Namun, insiden atau musibah yang tidak terduga tetap tidak bisa dihindari. Pada saat terjadi insiden, industri hulu migas berkewajiban untuk segera melakukan penanganan agar dampak yang ditimbulkan tidak meluas hingga mengancam jiwa manusia atau membahayakan lingkungan.

Reaksi cepat amat dibutuhkan dalam usaha penanggulangan keadaan krisis untuk menhindari adanya eskalasi kondisi darurat. Birokrasi panjang dalam pengambilan keputusan ketika terjadi krisis bisa membuat penanganan insiden tidak maksimal. Apalagi tak sedikit lapangan-lapangan migas di Indonesia berada di daerah terpencil maupun kawasan perbatasan. Pengambilan keputusan yang lama bisa membuat kondisi di lapangan menjadi tidak terkendali dan sulit ditangani.

Guna memudahkan kontraktor kontrak kerja sama (kontraktor KKS) dalam menangani krisis ketika terjadi insiden, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) membentuk Emergency Response Center (ERC) yang berbasis di kantor pusat SKK Migas. ERC berfungsi melakukan pengelolaan dan pengendalian keadaan darurat dan krisis secara cepat, namun, tetap berjalan dalam koridor hukum yang berlaku.

Pembentukan ERC dilakukan agar penanganan krisis bisa lebih fokus mengingat dampak yang ditimbulkan cukup besar apabila diabaikan. Keberadaan ERC juga mempercepat pengambilan keputusan apabila langkah yang diambil dalam penanganan krisis membutuhkan persetujuan dari SKK Migas. Begitu kondisi di lapangan menuntut adanya keputusan segera dari SKK Migas, pengambilan keputusan bisa langsung dilakukan di ruang kendali ERC.

Dalam menjalankan tugas, ERC dan tim manajemen krisis dipimpin Deputi Pengendalian Operasi SKK Migas sebagai kepanjangan tangan Kepala SKK Migas. Pada kondisi normal, ERC bertugas memantau perkembangan produksi migas per hari. Namun, saat terjadi kondisi darurat maupun krisis, ruangan ERC berubah fungsi menjadi crisis room. Tim manajemen krisis diaktifkan ketika kontraktor KKS menyatakan adanya eskalasi keadaan darurat dalam aktivitas operasional di lapangan.

Dalam menyatakan sebuah insiden sudah mengakibatkan kondisi darurat atau telah terjadi krisis ada tiga aspek dasar yang menjadi acuan. Pertama, insiden yang terjadi berdampak pada produksi migas dan aset di industri hulu migas yang merupakan aset negara. Kedua, insiden memiliki dampak terhadap lingkungan. Ketiga, insiden memiliki dampak terhadap manusia.

Ketika terjadi krisis atau kondisi darurat di lapangan migas, kontraktor KKS dapat menghentikan kegiatan produksi migas untuk menghindari terjadinya keadaan-keadaan yang lebih berbahaya. Namun, bukan berarti kontraktor KKS boleh menghentikan kegiatan produksi migas setiap kali terjadi krisis atau keadaan darurat. Penghentian proses produksi migas hanya boleh dilakukan apabila kondisi darurat di lapangan berpotensi menyebabkan terganggunya proses produksi atau bahkan menghentikan produksi.

Pada saat menghentikan produksi migas karena keadaan darurat, kontraktor KKS tidak harus menunggu komando dari ERC. Kontraktor KKS hanya perlu menyampaikan pemberitahuan atau notifikasi kepada ERC bahwa produksi akan dihentikan. Tim manajemen krisis di ERC selanjutnya memonitor apakah keputusan untuk menghentikan produksi migas memang patut dan pantas.

ERC didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kemampuan dalam mengelola krisis. Melalui crisis management training, SDM di ERC dilatih untuk bisa menangani atau menghadapi tekanan dari luar ketika terjadi krisis. Mereka wajib mengantongi sertifikasi sebagai bentuk legalisasi atas kompetensi atau skill yang dimiliki. Pelatihan dan sertifikasi tersebut diperlukan untuk memastikan apakah SDM yang ditugaskan di ERC memiliki kompetensi sebagai incident commander atau emergency commander.

Kesigapan dalam menangani sebuah krisis dan dukungan SDM yang kompeten diharapkan bisa mencegah terjadinya dampak yang lebih besar dari insiden yang terjadi di industri hulu migas.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini