Sukses

Beban Industri Hasil Tembakau Semakin Berat

Gappri mendesak Kementerian Perdagangan untuk mencabut PerMenDag No.75/2015 tentang dibukanya atau dibebaskannya impor cengkeh.

Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha rokok yang tergabung dalam Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) merasa bahwa dalam 10 tahun Industri Hasil Tembakau (IHT) benar-benar diabaikan oleh pemerintah. Akibatnya sekarang, beban IHT sekarang menjadi sangat berat. Beragam persoalan yang mendera IHT berlangsung masif dan sistemik.

Sikap yang sama juga terjadi pada pertanian tembakau. Para petani tembakau dipaksa beralih ke tanaman lain. Akibatnya lahan pertanian tembakau menyusut. "Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat (Balitas) yang menyediakan standar mutu bibit tembakau justru dikebiri. Bidang tembakau dihapus tinggal tanaman serat saja," tandas Ketua Gappri Ismanu Soemiran, Senin (9/11/2015). 

Akibatnya, ketika produksi rokok meningkat, tembakau lokal gagal memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kondisi itulah yang membuat industri rokok harus impor tembakau. “Selain itu, grade atau kualitas tembakau lokal juga terus menurun,” tuturnya.



Ismanu menambahkan, pada pekan lalu sebenarnya Kementerian Perindustrian telah mengundang para pemangku kepentingan industri hasil tembakau, kementerian terkait dan Asisten Deputi Pengembangan Industri Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk membahas masalah industri hasil tembakau di Indonesia, terutama mengenai masalah cukai tembakau impor. 

Pertemuan itu melahirkan lima kesepakatan. Pertama, masalah IHT karena kebijakan yang salah dari pemerintahan yang lalu. Untuk itu, dalam rapat koordinasi disepakati untuk menguatkan kembali kemitraan antara petani dan IHT. Kemudian segera membentuk tim terpadu dari unsur pemerintah, petani, dan IHT.

Kedua, pengembangan tatanan tembakau untuk memenuhi kebutuhan IHT, khususnya jenis Virginia. Ketiga, dilakukan pemetaan industri dan tanaman tembakau. "Kami sepakat melakukan inventarisasi riil IHT, berapa banyak yang masih beroperasi dan berproduksi, “ jelas Ismanu.

Keempat, peserta mendesak Kementerian Perdagangan untuk mencabut PerMenDag No 75/2015 tentang dibukanya atau dibebaskannya impor cengkeh. "Terakhir disepakati untuk menjaga harga cengkih jangan sampai jatuh di bawah biaya produksi," pungkas Ismanu.

Sebelumnya, dalam pembahasan RUU Pertembakauan oleh DPR terdapat pasal yang mengatur tentang impor tembakau. Di pasal tersebut dijelaskan bahwa tembakau impor akan dikenakan cukai sebesar 60 persen dari harga pasar, sedangkan rokok yang mengandung tembakau impor akan dikenakan biaya cukai tiga kali lipat.

RUU Pertembakauan tersebut dinilai memberatkan industri. Pasalnya, saat ini 40 persen tembakau di Indonesia masih impor. Direktur Makanan dan Tembakau, Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Faiz Achmad menjelaskan, hasil produksi tembakau di Indonesia hanya sekitar 180 ribu ton sampai 190 ribu ton per tahun. Sementara itu, kebutuhan mencapai 330 ribu ton per tahun.

Pengenaan cukai tinggi untuk tembakau impor juga akan membuat industri rokok tak kondusif dan memicu rokok ilegal yang meresahkan pelaku usaha. Ujungnya, target penerimaan cukai rokok yang sudah ditetapkan tak mungkin tercapai.

“Pengenaan cukai dan pajak untuk industri rokok saat ini sudah besar. Jika ditambah lagi, terkesan ada pajak berganda,” pungkas Faiz. (Gdn/Zul)*

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini