Sukses

Sering Jadi Isu Adu Domba, Upah Minimum Buruh Seharusnya Dihapus

Penerapan kenaikan upah tenaga kerja di luar negeri selalu diukur dengan produktivitas dan efisiensi.

Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha garmen memandang Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan merupakan tolok ukur bagi pemerintah, perusahaan, dan tenaga kerja untuk mengukur produktivitas dan efisiensi.

Upah minimum dianggap tidak perlu dan kenaikan penghasilan tenaga kerja diitung berdasarkan pertimbangan lain.   

Wakil Presiden Direktur PT Pan Brothers Tbk (PBRX) Anne Patricia Susanto menilai perdebatan maupun konflik mengenai aturan 78/2015 sangat tidak pantas karena regulasi anyar itu menjawab segala kegamangan perusahaan terhadap perhitungan kenaikan upah minimum di Indonesia.

"Kontroversial PP 78/2015 sebenarnya tidak perlu karena aturan ini adalah buffer supaya masing-masing pihak mengukur produktivitas dan efisiensi. Karena sebelum ada PP ini, setiap kenaikan tidak ada faktor yang mengukur produktivitas dan efisiensi," ujarnya menegaskan saat ditemui Liputan6.com, Jakarta, pada 20 November 2015.

Lebih jauh Anne membandingkan penerapan kenaikan upah tenaga kerja di luar negeri yang selalu diukur dengan produktivitas dan efisiensi, bukan dari sisi upah minimum. "Ini sudah terjadi sejak 1998 sampai sekarang. Banyak sekali distorsi, adu domba mengenai makna upah minimum sendiri," Anne menerangkan.

Menurut dia, pengertian upah minimum adalah upah yang diukur setelah dicocokkan dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) para tenaga kerja.

Sementara perusahaan selalu berorientasi kepada profit atau keuntungan, sehingga segala sesuatunya harus diukur berdasarkan kinerja dan produktivitas tenaga kerja.

"Upah minimum sebenarnya tidak perlu, tapi kan di negara kita mau ada kepastian. Ya sudah tidak masalah, tapi harus fair dong. Mestinya orang baru lulus dan bekerja, berpikirlah bisa berkontribusi lebih apa kepada perusahaan. Kalau tidak bisa jangan salahkan perusahaan," ujar Anne.

Ia berpendapat kenaikan upah minimum berdasarkan angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi merupakan perhitungan yang adil. Pasalnya selama ini penyesuaian upah minimum di suatu daerah terlampau tinggi.

"Nantinya diharapkan upah minimum tidak ada, yang ada berdasarkan KHL, produktivitas, efisiensi suatu daerah. Tolok ukurnya juga harus fair, tidak ada tekanan politik dan demo. Masak pengusaha juga harus demo," ucapnya.

Anne mengatakan supaya perusahaan garmen, padat karya, maupun manufaktur lain tetap bertahan dan menanamkan modalnya di Indonesia, pemerintah perlu berkomitmen menjalankan PP tersebut, sehingga tidak ada lagi tekanan dari luar dan pada akhirnya kenaikan upah melenceng dari yang telah ditetapkan.

"Dengan adanya PP Nomor 78, harusnya perusahaan tidak lari ya dari Indonesia. Tapi harapannya, tolok ukur upah ke depan bukan upah minimum, melainkan cost per pieces dan minutes per hour," ujarnya. (Fik/Ndw)**

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.