Sukses

KSPI Nilai PP Pengupahan Penuh Intrik

KSPI mendesak DPR RI membentuk Panitia Khusus (Pansus) guna membongkar permainan yang ada dibalik pengesahan PP Nomor 78 Tahun 2015.

Liputan6.com, Jakarta - Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersikeras menolak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Alasannya karena dinilai penuh dengan permainan antara pengusaha dan pemerintah, bahkan campur tangan pihak asing.

Presiden KSPI, Said Iqbal mengungkapkan, KSPI telah mempunyai bukti adanya intrik dalam pembahasan hingga penetapan PP 78/2015, yang termasuk di dalamnya perhitungan upah minimum setiap tahun berdasarkan pertumbuhan ekonomi plus inflasi.

"PP 78/2015 penuh dengan intrik, pembahasannya tertutup oleh pengusaha dan pemerintah. Tidak melibatkan buruh," ujarnya saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Minggu (29/11/2015).

Said membocorkan, kasus suap yang disodorkan seseorang kepada salah satu anggota Dewan Pengupahan dari pihak Serikat Pekerja sebesar Rp 500 juta untuk menyetujui PP 78/2015.


"Mereka menawarkan Rp 500 juta kepada KSPI yang duduk di Dewan Pengupahan. Tapi belum diterima ya. Tiba-tiba dua hari sebelum PP terbit, baru disosialisasikan ke buruh. Ini kan intrik dan tertutup," jelasnya.

Said melanjutkan, KSPI mempunyai bukti atas campur tangan Bank Dunia dan International Moneter Fund (IMF) dalam PP 78/2015. "Supervisi Bank Dunia dan IMF dalam bentuk pasal-pasal di PP itu. Kita punya dokumen persoalannya. Masa aturan di Indonesia ada campur tangan asing," tegasnya.

Untuk itu, KSPI mendesak DPR RI membentuk Panitia Khusus (Pansus) guna membongkar permainan yang ada dibalik pengesahan PP Nomor 78 Tahun 2015. Tuntutan ini akan dilakukan lebih dari 10 ribu buruh pada pekan depan.

"Lebih dari 10 ribu buruh akan melakukan aksi besar-besaran di DPR RI untuk menuntut pembentukan Pansus PP 78/2015 tentang Pengupahan. Aksi demo ini bakal diselenggarakan pada Jumat minggu depan," tandas Said.

Berbeda, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri justru menilai PP ini bebas dari intervensi bahkan ia nilai PP pengupahan yang baru akan menguntungkan kalangan buruh.

Dari 28 provinsi yang telah melaporkan penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2016 kepada pemerintah, 15 provinsi di antaranya belum mengikuti sistem formula dalam PP Pengupahan.

Hasilnya, kenaikan upah minimum di daerah tersebut relatif kecil, berkisar antara 6 persen hingga 9 persen. Sementara jika menggunakan formula dalam PP Pengupahan, kenaikan upah minimum tahun 2016 mencapai 11,5 persen, sesuai dengan data inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional dari Badan Pusat Statistik (BPS).

"Jelas bahwa PP 78/2015 tentang Pengupahan itu sangat menguntungkan buruh. Faktanya, dari semua provinsi yang melaporkan penetapan UMP 2016, yang memakai PP Pengupahan kenaikan UMP-nya mencapai 11,5 persen sesuai data inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional dari BPS. Adapun provinsi yang tidak menggunakan PP Pengupahan, kenaikan UMP-nya berkisar 6-9 persen. Jadi malah lebih kecil kenaikannya kalau tidak pakai PP Pengupahan", ujarnya. 

Oleh karena itu, kata Hanif, tidak cukup alasan bagi kalangan buruh untuk tidak menerima PP Pengupahan yang jelas menguntungkan buruh, kecuali jika ada tendensi lain yang bersifat non-buruh.

Hanif mengungkapkan PP Pengupahan bukan hanya menguntungkan buruh, tapi juga menguntungkan mereka yang belum bekerja dan kalangan dunia usaha. (Fik/Gdn)



* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini