Sukses

Ini Sebab Buah dan Sayur RI Sulit Mendunia

Ada sejumlah permasalahan yang membuat pasar ekspor produk hortikultura nasional masih rendah.

Liputan6.com, Jakarta - Meski memiliki areal pertanian dan perkebunan yang luas, namun produk-produk hortikultura Indonesia belum mampu berkontribusi banyak di pasar global.

Ketua Asosiasi Eksportir Sayur dan Buah Indonesia Hasan Johnny Widjaja mengatakan, ada sejumlah permasalahan yang membuat pasar ekspor produk hortikultura nasional masih rendah. Salah satunya ketersediaan areal khusus perkebunan dengan produk khusus ditujukan ke pasar ekspor.

"Untuk ekspor kita sulit. Kita di Indonesia nggak punya suatu kawasan, untuk ekspor kita masih ambil dari beberapa tempat untuk memenuhi satu kontainer," ujarnya di Kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, Jumat (4/12/2015).

Dia mencontohkan, sebenarnya produk manggis lokal punya potensi besar untuk diekspor ke negara lain. Namun sayang Indonesia tidak memiliki kawasan khusus penghasil manggis yang bisa panen dalam jumlah besar dan berkualitas baik untuk memenuhi permintaan di negara lain.

"Seperti manggis, kita ambil dari petani-petani, ada pengepulnya. Jadi petani cuma punya 5 pohon kemudian kita harus jalan 10 meter baru ada yang punya 5 pohon lagi. Jadi nggak punya suatu kawasan yang besar. Sehingga ekspor Indonesia sangat terlambat dibandingkan Thailand. Mereka ekspor, mereka ada suatu kawasan," jelasnya.

Selain soal lahan, Hasan juga mengeluhkan soal kebijakan pemerintah yang belum memihak pada buah-buahan ekspor. Salah satunya soal kebijakan tarif pemeriksaan kargo dan pos melalui agen inspeksi (regulated agent).

"Di Indonesia ini tidak memihak pada eksportir, mereka mencoba menambah biaya pada eksportir. Contohnya dengan ada regulated agent, sesuatu yang tidak perlu. Harusnya pemerintah dukung eksportir bisa ekspor sebesar besarnya. Bukan malah ditambah dengan regulated agent itu," tegas dia.

Menurut dia, keberadaan regulated agent hanya menambah biaya bagi para eksportir sehingga membuat harga produk asal Indonesia tidak bisa bersaing dengan produk dari negara lain, seperti Malaysia dan China.

"Barang kita harus lewat xray kemudian ditambah biaya Rp 500 per kg. Kalau 1 ton saja Rp 500 ribu. Jadi ini bukannya ditolong pemerintah malah dipersulit. Dengan adanya Rp 500 itu ekspor sayuran jadi sulit sementara, kita hanya ekspor ke Singapura. Dengan adanya regulated ini kita saingan dengan Malaysia dan China juga sangat berat sekali. Kita tidak bisa tumbuh dengan keinginan kita," ungkapnya.

Oleh sebab itu, jika pemerintah serius mendorong ekspor produk hortikultura lokal, maka kebijakan-kebijakan yang merugikan eksportir seperti ini harus dihilangkan.

"Regulated agent harus pemerintah yang cabut karena pemerintah yang buat. Regulated agent itu katanya alasannya buat safety tapi kenapa dibebankan buat eksportir. Ini buat saya tidak mengerti," tandas dia.

**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini

**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.