Sukses

Nasib Lapangan Gas Abadi Masela di Tangan Jokowi

Penetapan rencana pengembangan (Plan of Development/PoD) Blok Masela dari pemerintah rencananya akan diumumkan Rabu (23/12/2015).

Liputan6.com, Jakarta - Pengembangan dan pengelolaan lapangan gas abadi, Blok Masela di Laut Arafura terus memicu polemik terkait penggunaan dua teknologi. Penetapan rencana pengembangan (Plan of Development/PoD) Blok Masela dari pemerintah rencananya akan diumumkan Rabu (23/12/2015).
 
Adapun dua teknologi yang sedang diperdebatkan antara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli serta Menteri Energi dan Sumber Daya Sudirman Said, antara lain teknologi LNG terapung (Floating Liquefaction Natural Gas/LNG) maupun teknologi proses LNG Darat (Onshore LNG/OLNG).   
 
Anggota Tim Fortuga (Forum Tujuh Tiga) Yoga Suprapto mengungkapkan, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM serta Satuan Kerja Khusus (SKK) Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas telah menyewa konsultan, Poten & Partner untuk mengkaji proposal PoD Masela yang telah diajukan Inpex Masela Ltd.
 
Perusahaan ini merupakan operator langsung Blok Masela yang merekomendasikan pengembangan blok kaya gas bumi tersebut menggunakan teknologi LNG terapung. Sementara pihak Kemenko Kemaritiman dan Sumber Daya dan Tim Fortuga keukeh dengan teknologi OLNG.  
 
"Konsultan Poten & Partner baru mulai bekerja minggu lalu. Seperti janji Sudirman Said (Menteri ESDM) akan selesai pada 23 Desember 2015," ujar Yoga saat Forum Group Discussion Blok Masela di kantor BPPT, Jakarta, Selasa (22/12/2015).

Yoga dan anggota Tim Fortuga lain menganalisis data Inpex terhadap biaya pembangunan OLNG senilai US$ 20,66 miliar untuk kapasitas 2x4 juta metrik ton per tahun. Ia berpendapat, besaran biaya ini ada mark up biaya-biaya yang sengaja dibuat tinggi supaya terlihat OLNG tidak visible lantaran ada penggelembungan biaya.
 
Meliputi, FPSO (fasilitas pengolahan di atas sumur gas) dipatok Inpex sebesar US$ 4,82 miliar, seharusnya maksimal US$ 2 miliar sehingga ada perbedaan US$ 2,82 miliar. Biaya lainnya, kata Yoga, labor cost yang dipatok Inpex US$ 1,7 miliar, seharusnya maksimal US$ 0,3 miliar sehingga ada perbedaan selisih US$ 1,4 miliar.

Adapula biaya logistik yang diitung Inpex US$ 1,3 miliar, yang seharusnya maksimal US$ 0,3 miliar, jadi ada perbedaan selisih kurs US$ 1 miliar. Dengan demikian, Yoga menghitung, total selisih US$ 2,82 miliar plus US$ 1,4 miliar dan ditambah US$ 1 miliar, yakni US$ 5,22 miliar.
 
"Biaya OLNG harusnya lebih rendah daripada perhitungan Inpex yaitu sebesar US$ 15,44 miliar. Ini sudah dipangkas mark up. Sedangkan penggunaan lokal kontennya 30 persen-40 persen," jelas Yoga.
 
Sedangkan data dari dokumen SKK Migas-Inpex, menurutnya, biaya pembangunan FLNG di kapal US$ 14,80 miliar dengan lokal konten nol persen. Yoga menengarai ada unsur kesengajaan untuk mengecilkan nilai investasi FLNG, sedangkan penggunaan lokal konten disebut-sebut 15 persen.
 
"Jadi tidak mungkin lah darat lebih mahal dibanding laut. Penggunaan teknologi OLNG juga memicu lahirnya industri hilirisasi seperti yang dicita-citakan pemerintah," tegasnya.  
 
Yoga menilai, data Inpex ini juga dikirim ke Poten & Partner sehingga seluruh data dan angka-angka konsultan yang dibayar Dirjen Migas/SKK Migas bersumber dari Inpex.
 
"Konsultan ini nantinya cuma kasih stempel saja. Mudah-mudahan OLNG yang terbaik buat Indonesia bisa disetujui Presiden," kata Yoga. (Fik/Nrm)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.