Sukses

[OPINI] Penuh Optimisme Menyongsong 2016

Agar tidak salah melangkah dan membuat keputusan, perlu kehati-hatian menjalani 2016.

Liputan6.com, Jakarta - Selamat tinggal 2015. Selamat datang 2016. Selamat tinggal masa lalu. Selamat datang harapan baru. Begitulah pandangan kebanyakan orang ketika pergantian tahun harus terjadi. Yang lalu biarlah berlalu. Yang akan datang harus lebih baik.

Di sepanjang 2015 lalu, kinerja perekonomian Indonesia boleh dikatakan belum menggembirakan. Pertumbuhan diperkirakan hanya berkisar 4,75 persen, terendah dalam lima tahun terakhir. Inflasi memang jauh lebih rendah, berkisar 2,9 persen, jauh di bawah angka 8,38 persen dan 8,36 persen seperti yang terjadi pada 2013 dan 2014 lalu.

Namun hati-hati membaca inflasi yang rendah tadi, lantaran hal itu terjadi ditopang oleh melemahnya daya beli sebagian masyarakat, baik karena melemahnya nilai tukar rupiah maupun terpangkasnya sebagian pekerja di sektor perkebunan dan pertambangan.

Pertanyaannya, haruskah bangsa Indonesia optimis menyongsong 2016, yang masih akan dibayang-bayangi tekanan eksternal karena faktor Amerika Serikat dan Tiongkok?

Mestinya, optimisme menyongsong 2016 harus dibangkitkan. Asumsi makroekonomi 2016 harus lebih prospektif dan tidak perlu dicela, karena perkiraan-perkiraan seperti itu patut dipahami sebagai refleksi kepercayaan diri yang kuat.

Namun, sekali lagi, agar tidak salah melangkah dan membuat keputusan, pandangan yang berkembang akhir-akhir ini patut dicermati. Ketidakpastian global yang mendominasi perekonomian dunia diperkirakan tetap berlanjut sepanjang 2016.

Seperti 2015 lalu, ketidakpastian global pasti memberi dampak negatif terhadap perekonomian nasional. Indikasi tentang berlanjutnya ketidakpastian global pada 2016 itu harus diterima dengan sikap waspada, agar siapa pun tidak perlu bertindak ceroboh dan panik.

Dari aspek indikator tentang ketidakpastian global itu, praktis tidak ada yang baru. Pertama, dunia masih harus berspekulasi terhadap keberlanjutan kenaikan suku bunga The Fed (Fed Fund Rate/FFR), yang sudah diawali pada pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC), 15-16 Desember lalu.

Saat itu The Fed sepakat menaikkan FFR sebesar 25 basis poin dari 0,0-0,25 persen menjadi 0,25-0,50 persen. Antisipasi atau spekulasi terhadap langkah lanjutan The Fed otomatis memberi pengaruh signifikan terhadap pasar uang internasional, termasuk domestik.

Kedua, dinamika perekonomian Tiongkok. Pada 2016 nanti, Negeri Panda ini harus mengoreksi target pertumbuhan ekonomi dari 6,8 persen menjadi 6,3 persen karena melemahnya ekspor secara berkelanjutan.

Baik Bank Dunia maupun dana Moneter Internasional (IMF) sepakat dengan proyeksi angka ini. Maka, prospek pertumbuhan ekonomi Tiongkok harus menjadi pertimbangan utama pelaku bisnis di berbagai negara.

Spekulasi atau keraguan terhadap tinggi-rendahnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok melahirkan dampak cukup signifikan terhadap ketidakpastian di 2016. Para ekonom sudah meragukan bahwa Tiongkok akan mampu mencetak pertumbuhan hingga 7 persen, karena kebijakan ekonomi Tiongkok berubah dari export oriented ke domestic oriented.

Konsensus internasional mengatakan, jauh lebih berisiko perlambatan ekonomi Tiongkok daripada rencana kenaikan FFR di AS bagi perekonomian negara-negara berkembang.

Perlambatan ekonomi Tiongkok sulit diprediksi kapan akan berakhir, sementara kenaikan FFR relatif bisa diprediksi akan "berhenti sementara" pada level 2,5 persen pada 2017, serta mungkin berlanjut hingga ke level 3,5 persen pada 2018.

Faktor lain yang sangat mempengaruhi pertumbuhan ekspor Indonesia, terutama terkait perlambatan ekonomi Tiongkok, adalah rendahnya harga komoditas primer baik dari pertambangan maupun perkebunan. Apalagi harga minyak mentah dunia juga tak kunjung membaik pada kisaran US$ 35-US$ 40 per barel hingga akhir 2015 lalu.

Ketidakpastian yang berkelanjutan biasanya mereduksi agregat permintaan. Untuk itu, harga komoditas unggulan Indonesia di pasar internasonal pada 2016 ini, dipastikan tidak menjanjikan untung karena harga belum rebound.

Dari beberapa indikator di atas, muncul perkiraan bahwa tidak mudah bagi perekonomian Indonesia untuk mengejar pertumbuhan di atas 6 persen pada 2016 mendatang.

Angka pertumbuhan maksimal yang bisa dicapai tidak akan berbeda jauh dengan catatan tahun ini, berkisar 5,0 persen-5,5 persen menurut proyeksi Tim Riset Ekonomi Bank Negara Indonesia (BNI).

Bahkan dari berbagai proyeksi yang dikeluarkan oleh sejumlah lembaga internasional dan domestik, menghasilkan median 5,3 persen. Dengan begitu, pesan utamanya adalah pentingnya kehati-hatian menjalani 2016.

Pelajaran Berharga  

Belajar dari 2015, pemerintah harus memperbaiki mekanisme pengelolaan anggaran pembangunan. Lambannya penyerapan anggaran pada 2015 tidak boleh terulang pada 2016. Selain itu, harus dicarikan jalan keluar yang sifatnya terobosan untuk mengatasi kebuntuan pembangunan di banyak daerah.

Kepala Negara/Pemerintah, menteri-menteri/ketua-ketua lembaga serta para kepala daerah tingkat satu dan dua, harus berupaya semaksimal mungkin mampu menyerap anggaran sesuai program kerja masing-masing. Tidak boleh ada yang tercecer. Apalagi ada yang "mengendap" di perbankan.

Serapan  belanja yang lebih cepat akan menstimulasi kegiatan ekonomi di sektor riil, sehingga roda perekonomian bergerak lebih dinamis. Dampaknya akan mendorong penerimaan dari sisi pajak. Hal ini yang tidak terjadi di 2015 karena sendi-sendi perekonomian tidak bergerak normal.

Peluang pemerintah mendapatkan tambahan penerimaan negara melalui instrumen pengampunan pajak (tax amnesty), harus segera diwujudkan. Proyeksi penerimaan pajak 2016 diperkirakan akan naik berkisar 10 persen dari realisasi 2015.

Terkait penerimaan pajak, pemerintah harus lebih cerdas memenuhinya. Target penerimaan negara dari pajak pada 2015 lalu Rp 1.294 triliun. Hingga akhir Desember 2015, realisasinya sudah mencapai Rp 1.000 triliun atau 85 persen dari target.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, jajaran Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan harus mulai bekerja ekstra keras. Sebab, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016 mematok penerimaan pajak Rp 1.489,3 triliun, lebih besar dari proyeksi APBNP 2015.

Memang, tidak mudah memenuhi target penerimaan pajak sebagaimana dipatok APBN. Apalagi, belum ada jaminan perekonomian nasional tahun ini akan lebih baik dari 2015.

Tetapi, kerja keras jajaran Ditjen Pajak Kemenkeu memang menjadi sebuah keharusan agar pemerintah tidak perlu menambah utang baru untuk memperkecil defisit anggaran. Untuk itulah Ditjen Pajak harus memperluas basis pajak.

Peluang untuk itu sudah terbuka, berpijak pada kesepakatan negara-negara anggota G-20 dan OECD yang menerapkan Automatic Exchange of Information (AEI) pada 2018. Indonesia dan beberapa anggota G-20 sepakat menerapkannya pada 2017.

Setiap negara yang bersepakat menerapkan AEI, mewajibkan perbankan di negara-negara bersangkutan untuk mengungkap "rahasia nasabah" untuk kepentingan pajak. Dengan adanya ketentuan seperti itu, Ditjen Pajak sudah pasti memiliki peluang yang legal untuk memperluas basis pajak.

Potensi pendapatan negara dari sektor pajak akan tergambar lebih nyata berkat keterbukaan informasi itu. Tidak seperti sekarang ketika wajib pajak (WP) masih bisa menyembunyikan kekayaannya, termasuk menyimpannya di luar negeri.

Potensi pendapatan negara dari pajak hingga kini belum terdata seluruhnya. Itu sebabnya, tidak mudah untuk memenuhi target APBN.

Realisasi MEA

Sejalan dengan upaya menggenjot penerimaan APBN, kesiapan bangsa dan negara ini menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) mulai 1 Januari 2016 perlu diperhatikan secara seksama.

Dalam konteks persaingan usaha, hitung-hitungan di atas kertas, biaya produksi di dalam negeri mengindikasikan daya saing produk lokal belum cukup kuat menghadapi produk sejumlah negara lain anggota ASEAN.

Sudah begitu, sering kalangan pebisnis nasional membandingkan persoalan biaya produksi di dalam negeri dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN. Dua faktor biaya produksi yang paling sering dibahas dan dikeluhkan para pengusaha nasional adalah, tingginya suku bunga dan mahalnya harga energi di Indonesia.

Dua faktor tersebut menyebabkan produk lokal tidak kompetitif karena suku bunga dan harga energi di negeri tetangga lebih rendah. Celakanya, akhir-akhir ini, dengan semakin seringnya kalangan pekerja melancarkan aksi unjuk rasa secara terbuka menuntut kenaikan upah, kalangan pengusaha pun mulai khawatir faktor ini berpotensi mendongkrak biaya produksi.

Ketiga faktor di atas sudah sejak bertahun-tahun lalu dikalkulasi sebagai penyebab rendahnya daya saing Indonesia. Maka dari itu, untuk memperbaiki daya saing, para pelaku usaha nasional sudah lama merekomendasikan kepada pemerintah dan otoritas moneter agar mewaspadai tiga faktor biaya produksi tersebut.

Seharusnya, ketika pemerintah menandatangani pakta perdagangan bebas dalam kerangka MEA atau APEC (Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik), langkah itu diikuti dengan sejumlah perbaikan dan penyesuaian di dalam negeri, sehingga daya saing negara ini sudah terwujud. Namun, upaya-upaya untuk mengefisienkan biaya produksi di dalam negeri tak kunjung dilakukan.

Kini, ketika semua menyadari realisasi MEA, kalangan pelaku usaha mulai dilanda kecemasan. Maka, penting bagi pemerintah dan otoritas moneter berdialog lagi dengan kalangan pengusaha di dalam negeri, untuk mengkonfirmasi ulang kesiapan mereka bersaing dengan produsen dari anggota ASEAN lainnya.

Ketidaksiapan dunia usaha nasional bersaing di pentas MEA akan membawa implikasi sangat serius terhadap beberapa aspek di dalam negeri.  Itu sebabnya, menyambut realisasi MEA mulai 2016 ini, pemerintah, otoritas terkait dan kalangan pengusaha hendaknya bersatu padu mempererat kerjasama, koordinasi dan komunikasi, bukan saling menyalahkan.

Dirilisnya delapan paket kebijakan ekonomi oleh pemerintah, didukung kebijakan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang cenderung akomodatif di sepanjang September hingga Desember lalu, memberikan dukungan nyata bagi kalangan pelaku usaha dan investor untuk lebih agresif mengembangkan usahanya.

Sebab, berbagai kendala dan hambatan dalam berusaha sudah terjawab melalui paket kebijakan ekonomi tersebut. Inilah juga yang memberikan tambahan optimisme bahwa perekonomian Indonesia 2016 akan lebih baik dibanding 2014 dan 2015 lalu. Semoga!

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini