Sukses

Harga Minyak Diprediksi Terjun Bebas, Anggaran RI Masih Aman

Pemerintah harus mencari upaya untuk mengumpulkan penerimaan sebagai langkah kompensasi penerimaan migas tanpa mendistorsi perekonomian.

Liputan6.com, Jakarta - Jatuhnya harga minyak dunia yang diprediksi bisa menyentuh level US$ 20 per barel sangat membahayakan bagi anggaran Arab Saudi yang merupakan negara pengekspor minyak. Dampak buruk juga akan menimpa Indonesia dari sisi penerimaan migas meskipun tidak akan separah Negara Arab.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Enny Sri Hartati mengungkapkan, sebesar 80 persen fiskal Arab Saudi sangat bergantung pada penerimaan ekspor minyak dan gas (migas). Akibat, kejatuhan harga minyak dunia hingga menyentul level terendah, pemerintah Arab Saudi memotong subsidi ke masyarakat hingga 22 persen di 2015.

"Kalau harganya semakin anjlok, bahaya bagi fiskal Arab Saudi, tidak akan mampu lagi karena defisit makin besar. Beda sama Iran, ketika di embargo, mereka kreatif masuk industrialisasi, energi nuklirnya bahkan ditakuti AS, tapi Arab Saudi tidak bisa," jelasnya di Jakarta, Kamis (7/1/2016).

Sementara Indonesia, Enny mengaku, penurunan harga minyak dunia akan berdampak terhadap Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Realisasi APBN-P 2015, PNBP mencapai 93,8 persen menjadi Rp 252,4 triliun dari target Rp 269,1 trliun. Rendahnya pencapaian ini, utamanya dipicu turunnya pendapatan sumber daya alam migas dan pertambangan minerba.

"Shortfall PNBP makin besar kalau harga minyak dunia terus turun. Tapi tidak akan separah Arab Saudi lah, jangan sampai juga. Karena kita masih punya banyak potensi, salah satunya dari penerimaan pajak dan lainnya," terang Enny.

Menurutnya, pemerintah Indonesia perlu mengoptimalkan penerimaan dari sektor lain, seperti pajak dengan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Mempercepat pembangunan kilang minyak, mengerjakan pekerjaan rumah memenuhi target energi alternatif.

Kata Enny, pemerintah harus mencari upaya untuk mengumpulkan penerimaan sebagai langkah kompensasi penerimaan migas tanpa mendistorsi perekonomian.

"Kalau tidak, fiskal kita akan terjebak pada utang untuk menutup defisit anggaran yang semakin lebar akibat penurunan penerimaan migas. Biar defisit tidak melebihi 3 persen, belanja negara terpaksa dikurangi, akhirnya stimulus untuk pertumbuhan ekonomi berkurang," papar Enny.

Sementara itu, Anggota Komisi XI DPR RI, Hendrawan Supratikno mengaku, penurunan harga minyak dunia akan sangat menguntungkan Indonesia sebagai salah satu negara importir minyak, karena konsumsi bahan bakar minyak lebih tinggi dibanding produksi.

"Lebih baik dong, karena sudah jadi importir. Tidak apa sih penerimaan negara berkurang karena itu konsekuensinya, tapi beban impor kita kan juga susut. Lebih bagus harga minyak turun dong, jadi peluang untuk hilirisasi," ujarnya.

Perlu diketahui, defisit anggaran Arab Saudi melonjak menjadi US$ 98 miliar atau Rp 1.337 triliun tahun ini karena harga minyak dunia meluncur ke kisaran US$ 30 per barel. Sedangkan defisit APBN-P 2015 melebar menjadi Rp 318,5 triliun (2,80 persen terhadap PDB), atau melebar dari target di APBN-P 2015 sebesar Rp 222,5 triliun (1,9 persen). (Fik/Gdn)


**Ingin berbagi informasi dari dan untuk kita di Citizen6? Caranya bisa dibaca di sini
**Ingin berdiskusi tentang topik-topik menarik lainnya, yuk berbagi di Forum Liputan6

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini