Sukses

Pengamat Sebut PLTN Mahal dan Berbahaya

Indonesia telah merencanakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sejak puluhan tahun lalu.

Liputan6.com, Jakarta Indonesia telah merencanakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sejak puluhan tahun lalu. Hanya saja, realisasinya masih memicu polemik karena dinilai terlalu berbahaya, berisiko dan mahal.

Direktur Eksekutif Intitute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa meragukan data PT Batan Teknologi (Persero) yang menyebut 75,3 persen penduduk Indonesia setuju dengan pembangunan PLTN uranium di Indonesia. Menurutnya, survei ini dilakukan antara Batan bersama salah satu perusahaan riset dengan 4.000 responden di Jawa dan Luar Jawa.

"Pendapat 75 persen ini tidak mengubah natur teknologi PLTN, yang berisiko, mahal dan berbahaya. Kalau teknologi ini sedemikian menjanjikan, harusnya bisa berkembang di dunia," ujar Fabby saat Diskusi Energi Kita di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Minggu (10/1/2016).

Faktanya, kata Fabby, jumlah PLTN yang beroperasi sampai saat ini berkurang jauh di seluruh dunia. Sambungnya, dalam 20 tahun terakhir, negara yang membangun pembangkit nuklir berkurang drastis bahkan sekelas negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), Prancis, Jerman dan lainnya.

"Yang mau bangun PLTN sekarang sedikit, misalnya China. AS saja masih stagnan membangun nuklir, Perancis akan memaksimalkan energi terbarukan, dan Jerman akan menutup reaktor nuklirnya sebelum 2022," tegasnya.

Fabby menyebutkan, Batan sebagai Lembaga yang memahami betul teknologi nuklir seharusnya memberikan informasi akurat mengenai PLTN kepada masyarakat Indonesia. Bahwa PLTN, termasuk teknologi teranyar generasi 3+ (tiga plus) memiliki risiko dan bahaya cukup besar.

"Batan sudah tandatangan MoU dengan pemerintah Kalimantan Timur mau bangun PLTN. Wong beban puncak di Kaltim saja 632 Megawatt (Mw), masa mau bangun PLTN di atas 1.000 Mw. Secara teknis saja tidak layak, kok ada MoU," keluhnya.

Sementara Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Rinaldy Dalimi menambahkan, Batan perlu menjelaskan secara transparan mengenai hasil survei tersebut karena dianggap dapat menyesatkan publik.

"Dari surveinya 75,3 persen penduduk Indonesia setuju PLTN, lah saya sendiri berkunjung ke Muria, Jepara tidak setuju mau dibangun PLTN di sana," ucapnya.

Bahkan Rinaldy menceritakan, pernah bertemu dengan Pemerintah Daerah Bangka Belitung, wilayah yang akan dijadikan lokasi pembangunan PLTN. Pertemuan juga dengan Wakil Gubernur dan anggota DPR perwakilan Babel. Mereka menyatakan setuju pembangunan PLTN torium di Babel karena banyak limbah torium, bukan PLTN uranium.

"Jadi ada informasi yang salah yang diterima Pemda, Wakil Gubernur dan anggota DPR, karena PLTN torium belum ada yang komersial, termasuk di China sekalipun," terangnya.

Sayangnya, Kepala Batan Teknologi, Djarot S Wisnubroto maupun perwakilannya tidak menghadiri acara diskusi tersebut. Sehingga pengamat maupun DEN kesulitan membahas mengenai PLTN dan kebenaran hasil survei tersebut.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini