Sukses

Tapera Harus Hindari Pungutan Ganda

Saat ini ada beberapa pungutan yang memiliki tujuan sama untuk perumahan antara lain Bapertarum PNS, Yayasan Kesejahteraan - Prajurit (YKPP)

Liputan6.com, Jakarta - Penolakan dari kalangan pengusaha dan pekerja terkait rencana pemberlakuan tabungan perumahan rakyat (Tapera) perlu menjadi pertimbangan DPR RI yang saat ini sedang membahas Undang-Undang Tapera.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah mengkaji agar tidak terjadi pungutan ganda yang memberatkan pekerja maupun pengusaha.

Demikian diungkapkan Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo kepada Liputan6.com, Selasa (26/1/2016).

Menurut dia, saat ini ada beberapa pungutan yang memiliki tujuan sama untuk perumahan antara lain Bapertarum PNS, Yayasan Kesejahteraan - Prajurit (YKPP) dan BPJS Ketenagakerjaan yang juga menyediakan program perumahan bagi pekerja.

"Saya kira pengusaha dan pekerja pasti mendukung program Tapera ini, namun yang dipersoalkan adalah adanya dobel pungutan dengan program serupa tadi. Solusinya, mungkin perlu dikaji agar lembaga-lembaga tersebut bisa diintegrasikan," kata Eddy Ganefo.


Berdasarkan draf RUU Tapera diatur pungutan untuk pekerja sektor formal sebesar 3 persen terdiri dari 2,5 persen dibayar oleh pekerja dan 0,5 persen pengusaha (pemberi kerja).

Menurut Eddy, agar tidak memberatkan, dana Tapera seharusnya diambil atau dipotong dari sebagian iuran yang telah rutin disetor pekerja dan pemberi kerja ke BPJS Ketenagakerjaan.

Selain itu, dia berharap pemerintah melakukan intervensi dalam pelaksanaan Tapera karena program tabungan perumahan ini ditujukan bagi seluruh warga Indonesia sehingga layak dibantu, dengan tetap mempertimbangkan penghasilan rakyat bersangkutan.

"Kemudian mungkin perlu dikaji ulang lagi soal pengelolaan dan tarif. Misalnya bagi masyarakat yang sudah punya, seharusnya tetap bisa menggunakan tabungannya di Tapera untuk beli rumah atau keperluan lain. Karena nggak fair juga, kok orang disuruh menabung tapi tidak bisa pakai dananya karena sudah punya rumah," tegas Eddy Ganefo.

Sebelumnya, para pengusaha yang bergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyatakan keberatan kalau pungutan Tapera harus dibebankan lagi kepada pengusaha.

Menurut dia, beban pungutan di perusahaan atau pekerja atas persentase tertentu dari penghasilan pekerja sudah sangat besar sehingga penambahan pungutan berapapun besarnya akan semakin menjadikan dunia usaha tidak kompetitif.

Ketua Umum Apindo, Haryadi Sukamdani menjelaskan, saat ini beban pungutan yang sudah ditanggung perusahaan sebesar 18,24 sampai 19,74 persen dari penghasilan pekerja. Seperti, jaminan sosial ketenagakerjaan meliputi jaminan hari tua sebesar 3,7 persen, jaminan kematian 0,3 persen, jaminan kecelakaan kerja 0,24 persen-1,74 persen.

Selain itu, pengusaha masih juga dibebani dengan jaminan pensiun pekerjanya sebesar 2 persen, jaminan kesehatan sebesar 4 persen dan cadangan pesangon sekitar 8 persen.

"Rata-rata kenaikan upah dalam 5 tahun terakhir sekitar 14 persen, maka beban tahunan pengusaha untuk taat pada peraturan perundang-undangan dapat mencapai sekitar 35 persen," kata dia.

Haryadi mengatakan, jika UU Tapera ini tetap diberlakukan, maka pembiayaan bagi peserta dari unsur pekerja formal sebaiknya tidak bersumber dari penambahan pungutan terhadap pemberi kerja atau dunia usaha.(Muhammad Rinaldi/Nrm)


* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini