Sukses

Begini Potret Muram Industri Migas Saat Ini

Liputan6.com, Jakarta - Industri minyak nasional sedang suram. Manisnya harga minyak saat meroket ke level di atas US$ 100 per barel kini tak bisa lagi dinikmati.

Harga minyak terus tergerus. Pada pertengahan 2014, harga minyak masih bertengger US$ 110 per barel, namun sekarang harga minyak merosot hingga mendekati level terendah dalam 12,5 tahun. Pada penutupan perdagangan Selasa (Rabu pagi WIB), harga minyak mentah Brent turun US$ 2,56 atau 7,8 persen ke level US$ 30,32 per barel.

Sedangkan harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI)  juga jatuh US$ 1,75 atau 5,9 persen menjadi US$ 27,94 per barel.

Penurunan harga minyak  tentu saja akan menimbulkan efek sangat besar terhadap perekonomian nasional. Salah satunya ke perusahaan-perusahaan minyak yang beroperasi di Indonesia.

Bagaimana tidak? Dengan harga minyak US$ 30 per barel, perusahaan minyak tentu harus menanggung rugi karena biaya produksi yang lebih tinggi ketimbang harga jual.  Kalau pun masih untung, keuntungan yang direguk sangatlah tipis.

Kepala Bagian Humas Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Elan Biantoro menyebutkan, rata-rata biaya produksi minyak dan gas (migas) nasional sekitar US$ 24-US$ 25 per barel.  Jika dipisahkan, rata-rata biaya produksi gas sekitar US$ 16 per barel setara minyak. Sedangkan minyak US$ 30 per barel.

"Kalau rata-rata US$ 30 per barel, itu berarti ada yang biaya produksinya US$ 10, US$ 20, US$ 30, US$ 40, bahkan ada yang US$ 60 per barel. Dengan harga jual US$ 30 per barel, perusahaan yang biaya produksinya di atas US$ 30 per barel ya rugi," ungkap Elan saat berbincang dengan Liputan6.com, Rabu (10/2/2016).

Perusahaan-perusahaan tersebut harus dibantu pemerintah agar jangan sampai kegiatan operasional mereka berhenti. Sebab, jika sampai berhenti maka tentunya akan berpengaruh ke produksi migas nasional dan ujung-ujungnya berimbas ke penerimaan negara dari sektor hulu migas.

Mulai berguguran

Efek turunnya harga minyak tak terhindari. Elan mengakui perusahaan minyak satu per satu mulai berguguran. Dia menyebutkan, dari 330 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sekarang sudah berkurang menjadi 312 KKKS. Dari 312 KKKS yang tersisa, sekitar 232 KKKS eksplorasi, sekitar 80 KKKS mengelola blok produksi.

"Dari 232 KKKS eksplorasi, sekitar 60 KKKS kontraknya akan diterminasi," kata Elan.

Tak hanya itu, perusahaan minyak juga mulai melepas beberapa aset yang dianggap tidak menguntungkan saat harga anjlok seperti ini. Salah satunya Chevron Indonesia Company (CICO) yang memutuskan tidak memperpanjang kontrak production sharing contract (PSC)  pengelolaan Blok East Kalimantan (EKAL).

Selain itu, ConocoPhillips berencana melepas sahamnya di Blok B Laut Natuna Selatan.

Efisiensi besar-besaran

Untuk meminimalisir efek dari penurunan harga minyak, perusahaan migas kini mengencangkan ikat pinggang. Elan menyebutkan, kegiatan training berkurang drastis, perjalanan dinas juga banyak dipotong. "Dulu kalau rapat, dari Palembang, Balikpapan atau Papua datang ke Jakarta, sekarang kalau rapat teleconference," jelasnya. 

SKK Migas yang mengatur kegiatan hulu migas di Tanah Air juga ikut memutar otak untuk membantu perusahaan migas melakukan efisiensi operasi sejak awal 2015. Pada tahun ini, SKK Migas menargetkan penghematan kegiatan operasional hingga US$ 351 juta dengan melakukan pengadaan bersama.

"Misalnya ada rig yang dipakai satu perusahaan, ketika selesai daripada dikembalikan ke penyewa itu digeser dulu ke perusahaan lain yang membutuhkan. Rig itu kan disewa dari Vietnam atau Dubai, biaya kirimnya saja US$ 1-US$ 2 juta, kalau dipakai yang lainkan bisa hemat biaya transportasinya," papar Elan.

PHK Karyawan

Meski telah melakukan sejumlah efisiensi di kegiatan operasi, efek dari turunnya harga minyak ternyata sudah tak bisa dibendung.

Elan mengakui beberapa perusahaan migas telah mengusulkan adanya pengurangan pegawai. Perusahaan yang sudah menyampaikan secara resmi ke SKK Migas adalah Chevron.

Menanggapi rencana Chevron, SKK Migas mengimbau Chevron agar lebih mengoptimalkan efisiensi dari top level hingga bawah. 

"Lakukan penghematan. Jangan menyerah langsung turun ke karyawan," katanya.

SKK Migas juga mengajukan sejumlah syarat jika Chevron ingin melakukan pengurangan karyawan. Pertama, karyawan yang sudah memasuki masa pensiun, tidak perlu diperpanjang. Kedua, tidak merekrut karyawan baru dan ketiga jika ada PHK, itu sebaiknya dilakukan dulu ke pekerja asing.

"Kalau itu sudah ditempuh dan tetap harus melakukan PHK, kurangi karyawan dengan sukarela. Supaya bisa sukarela, persyaratan pensiun dini dipermudah. Terakhir beri tawaran pengurangan karyawan melalui mutual agreement termination, karyawan mundur tapi dapat pesangon," saran Elan.

Apa yang harus dilakukan?

Melihat kondisi industri migas nasional saat ini, SKK Migas meminta pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan migas. Bentuknya bisa berupa kebijakan fiskal dan yang lain.

"Seperti orang sakit masuk ICU harus diinfus supaya bisa baik. Industri migas butuh infus dari pemerintah, sebab kalau tidak bisa kolaps. Padahal industri hulu migas ini menyuplai 60 persen kebutuhan energi nasional," kata Elan. (Ndw/Gdn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini