Sukses

Ini Tanggapan Pengusaha soal Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Jika kenaikan iuran ini ujungnya akan memberatkan pengusaha, harus ada kompensasi yang diberikan pemerintah.

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah memutuskan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan per 1 April 2016. Kenaikan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Langkah yang dilakukan oleh pemerintah tersebut mendapat sambutan positif dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.

Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P Roeslani mengatakan, pada prinsipnya para pengusaha akan mengikuti apa yang telah diatur oleh pemerintah. Asalnya aturan tersebut memberikan dampak positif bagi sektor usaha di dalam negeri. "Pertama, kalau itu peraturan yang berlaku, kami ikuti ya," ujarnya di Jakarta, Senin (14/3/2016).

Menurut Rosan, yang terpenting dari setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yaitu kebijakan tersebut mampu mengurangi pengangguran dan membuat roda perekonomian di dalam negeri tetap berjalan. "Kami harapkan dari kebijakan ini, tujuannya satu, penciptaan lapangan kerja. Kalau suatu kebijakan penciptaan lapangan kerja baru itu oke. Kalau tidak menciptakan lapangan kerja baru itu mesti di-review kembali," kata dia.

Jika kebijakan kenaikan iuran ini pada ujungnya akan memberatkan pengusaha, harus ada kompensasi yang diberikan pemerintah. Hal ini penting untuk menjaga kegiatan bisnis di Indonesia tetap berjalan.

"Mau menambah pajak, kasarnya, kalau ujungnya penciptaan lapangan kerja baru kami dukung. Ada beban ke pengusaha, kalau untuk lapangan kerja baru kita dukung. Ujungnya itu saja. Ada kebijakan pembuatan rumah murah untuk rakyat nggak mampu. Kebijakannya bagus, kalau bisa ciptakan lapangan kerja," tandas dia.

Hal berbeda dikemukakan Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. Ia mengatakan, meskipun kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini dilakukan demi menutup defisit operasional yang mencapai lebih dari Rp 7 triliun sejak 2014, seharusnya pemerintah tidak melakukannya.

"Terlepas dari soal defisit, kebijakan menaikkan tarif iuran BPJS untuk peserta mandiri adalah kebijakan yang kontraproduktif dan tidak mempunyai empati. Di saat sedang lesunya pertumbuhan ekonomi dan menurunnya daya beli masyarakat," ujarnya.

Tulus menjelaskan sebelum menaikkan iuran, BPJS seharusnya melakukan evaluasi terhadap kinerjanya. Pasalnya, sampai detik ini BPJS Kesehatan belum mempunyai standar pelayanan minimal yang jelas.

Dia menilai selama ini hampir di semua lini pelayanan BPJS masih sangat mengecewakan masyarakat. Salah satu contohnya, masih banyak pasien yang ditolak opname di rumah sakit tanpa alasan yang jelas.

Untuk diketahui, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden nomor 19 Tahun 2016 Tentang Jaminan Kesehatan yang salah satunya menyebutkan besaran jumlah iuran BPJS Kesehatan yang harus dibayar masyarakat per bulan.

Pada pasal 16, iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan serta penduduk yang didaftarkan oleh pemerintah daerah naik dari Rp 19 ribu menjadi Rp 23 ribu per orang per bulan.

Bagi Peserta Pekerja Penerima Upah yang terdiri atas Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI, Anggota Polri, Pejabat Negara, pimpinan dan anggota DPRD, dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri akan dipotong sebesar 5 persen dari gaji atau upah per bulan.

Menurut pasal 16 F, rincian iuran Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja pun naik. Untuk kelas III menjadi Rp 30.000, kelas II menjadi Rp 51.000 dan kelas I menjadi Rp 80.000

Dalam aturan yang direvisi Presiden ini juga tertulis denda sebesar 2,5 persen dari biaya pelayanan kesehatan untuk iuran yang terlambat dibayarkan setiap bulannya. Untuk jumlah tertunggak paling banyak 12 bulan dan denda paling tinggi sebesar Rp 30.000.000. (Dny/Gdn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini