Sukses

Raperda Rokok DKI Jakarta Tuai Protes Pelaku Industri

Ada beberapa pasal dalam raperda tentang Kawasan Tanpa Rokok yang dinilai secara jelas bertentangan dengan PP 109 Tahun 2012

Liputan6.com, Jakarta - Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang sedang disusun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pemerintah DKI Jakarta menuai kritik dari pelaku industri rokok dalam negeri.

Kritik utamanya terkait persoalan pertentangan isi raperda dengan peraturan nasional yang mengatur tentang produk tembakau yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan (PP 109 Tahun 2012).

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moeftie sebelumnya mengungkapkan keluhan dan masukan terkait raperda yang sedang disusun tersebut.

“Secara hukum, peraturan tingkat nasional haruslah menjadi acuan bagi peraturan daerah. Peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang hirarkinya lebih tinggi. Untuk itu, kami meminta DPRD dan Pemda DKI Jakarta untuk mengacu pada PP 109 Tahun 2012 dalam menyusun Raperda tentang Kawasan tanpa Rokok,” jelas dia, Kamis (24/3/2016).


Menurut Moefti ada beberapa pasal dalam raperda yang secara jelas bertentangan dengan PP 109 Tahun 2012, antara lain Pasal 23 ayat 1 dan 2 Raperda tentang KTR yang melarang penjual untuk memperlihatkan jenis, merek, warna, logo, dan wujud rokok.

Menurut dia, ketentuan tersebut menghilangkan hak produsen untuk mengkomunikasikan produknya dan bertentangan pula dengan Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Senada dengan Gaprindo, Ketua Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) Zulvan Kurniawan menghimbau agar Pemprov DKI menjadikan PP 109 Tahun 2012 sebagai acuan dalam menyusun Raperda. "Paling tidak ada solusi yang pas untuk kedua belah pihak," imbuh dia.

Sementara Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Hasan Aoni Aziz menilai raperda tersebut harus melibatkan banyak pihak.

“Kalau dipaksakan ini culas namanya, karena pembuatan naskah akademik yg digunakan sebagai dasar perancangan Raperda haruslah melibatkan seluruh stakeholders. Jangan hanya menggunakan naskah dari pihak pro-kesehatan. Dalam menyusun peraturan juga harus memperhatikan hirarki, jangan bertentangan dengan peraturan di atasnya,” tegas dia. (Nrm/Ahm)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini