Sukses

Pertamina Tolak Rencana Pengenaan Cukai untuk BBM

Cukai justru cocok dikenakan pada rokok atau produk lain yang memang tidak boleh atau mesti dibatasi konsumsinya

Liputan6.com, Jakarta PT Pertamina (Persero) menolak rencana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) atas pungutan cukai bahan bakar minyak (BBM). Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tersebut menilai pengenaan cukai terhadap komoditas ini akan memberatkan masyarakat lantaran berpengaruh terhadap harga BBM.

"Harusnya jangan dikenakan cukai ya karena BBM kan kebutuhan masyarakat," tegas Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto di Jakarta, seperti ditulis Jumat (25/3/2016).

Menurutnya, pungutan cukai sangat tidak tepat jika diterapkan pada BBM mengingat bahan bakar, seperti minyak dan gas dibutuhkan masyarakat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Cukai justru cocok dikenakan pada rokok atau produk lain yang memang tidak boleh atau mesti dibatasi konsumsinya karena mengganggu kesehatan.

 

"Biasanya cukai kan dikenakan kepada barang yang memang tidak untuk dikonsumsi, itu tepat. Kalau BBM dan gas, masyarakat kita kan butuh untuk pertumbuhan ekonomi," jelas Dwi.

Parahnya lagi, kata Dwi, pungutan cukai akan mengerek harga BBM dan akhirnya dibebankan ke konsumen. Sementara masyarakat berharap harga BBM lebih terjangkau.

"Pasti larinya ke penyesuaian harga jual dan itu tidak pas dengan kebutuhan masyarakat," ujar Mantan Direktur Utama PT Semen Indonesia Tbk itu.

Sebelumnya, Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara mengaku tengah menggodok pungutan cukai BBM karena komoditas ini dianggap dapat merusak lingkungan. Aturan tersebut masih dalam tahap kajian, untuk kemudian dibahas bersama DPR RI dan pengusaha.

Sedangkan persoalan tarif atau potensi penerimaan negara yang masuk, pemerintah belum membahasnya. "Ini mulai ada kajiannya," tegas Suahasil.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini