Sukses

OPINI: Panama Papers, Wake-up Call yang Harus Direspons Hati-hati

Harus diakui, heboh nama-nama asal Indonesia yang tercatat dalam Panama Papers telah memberikan kesan bagi sebagian kalangan.

Liputan6.com, Jakarta - Harus diakui, heboh nama-nama asal Indonesia yang tercatat dalam Panama Papers telah memberikan kesan bagi sebagian kalangan, bahwa mereka adalah segelintir warga negara berpenghasilan sangat tinggi yang melakukan pelanggaran hukum terutama berupa praktik penggelapan pajak.

Tentu, impresi seperti itu tidak sepenuhnya keliru atau benar. Adanya fitur kerahasiaan yang lekat dalam bisnis offshore di tax haven memungkinkan disembunyikannya pemilik aset yang sebenarnya, asal-usul aset, sekaligus menghindari pajak atas kepemilikan aset tersebut.

Panama Papers sejatinya berupaya mengupas seluk beluk industri kerahasiaan yang terdiri atas empat komponen, yaitu: tax haven, nasabah, perantara, dan aliran dana gelap.

 


Keterlibatan industri kerahasiaan dalam praktik perpajakan Indonesia yaitu sebagai perantara untuk melakukan penghindaran atau bahkan penggelapan pajak tampaknya juga bukan sebuah mitos. Ada banyak data yang mengonfirmasi situasi ini.

Namun, menyimpulkan sesuatu tanpa dasar dan alasan konkret yang meyakinkan, apalagi tanpa didahului pemeriksaan yang diuji dengan serangkaian pembuktian, hanya akan menghidupkan syak wasangka yang tak berkesudahan. Situasi ini tentu tidak sehat bagi iklim berusaha secara keseluruhan.

Karena itu, respons pemerintah yang lebih agresif atas Panama Papers menjadi kian relevan. Justru karena muncul impresi yang negatif itu, respons pemerintah menjadi titik awal pengharapan untuk membuat lebih jernih persoalan.

Pernyataan Presiden dan Menteri Keuangan yang akan serius mengkaji dan mendalami data Panama Papers serta mencocokkannya dengan data resmi otoritas pajak, sekaligus rencana untuk mengumumkan hasil kajian tersebut dalam waktu dekat, adalah langkah yang patut diapresiasi.

Respons Kebijakan

Dalam situasi yang masih diliputi oleh berbagai ketidakpastian seperti ini, bersikap keras untuk tetap menyeimbangkan antara respons kebijakan yang agresif dan kedalaman pikiran serta kehati-hatian, akan jauh lebih produktif ketimbang mengedepankan sikap yang reaktif dan emosional.

Untuk itu, dalam konteks merumuskan respons kebijakan yang agresif terhadap bergulirnya bola panas Panama Papers inilah, paling tidak ada empat pokok kehati-hatian yang perlu dikedepankan baik oleh pemerintah maupun oleh semua pihak yang berkepentingan dengan isu ini.

Pertama, selain nama-nama mantan pejabat dan pejabat pemerintah yang masih aktif, daftar nama asal Indonesia yang disebut oleh Panama Papers itu juga berisi sejumlah tokoh dan pelaku usaha yang dikenal biasa melakukan praktik bisnis dengan spektrum yang melintasi batas-batas negara di dunia.

Bagi golongan swasta ini, pembentukan perusahaan offshore acapkali didasari oleh kepentingan bisnis, atau secara lebih spesifik, ditujukan untuk memudahkan praktik bisnis yang selama ini mereka jalankan dengan jaringan dan rantai produksi dan pemasaran yang telah mengglobal.

Karena alasan itu pula, sebagian dari mereka, terutama yang terafiliasi dengan perusahaan-perusahaan publik yang tercatat di pasar modal, termasuk perusahaan-perusahaan milik negara, terlihat tak memiliki intensi guna menyangkal atau menyembunyikan kepemilikannya pada perusahaan offshore tersebut.

Tentu, kepentingan bisnis murni di balik pembentukan perusahaan offshore itu masih bisa dipertanyakan. Pemilihan lokasi pendirian di negara tax haven jelas bukan tanpa alasan. Hal ini juga bisa menjadi bagian dari cara mengaburkan identitas pemilik manfaat sebenarnya, yang menjadi modus penghindaran pajak.

Akan tetapi, yang hendak disampaikan di sini adalah, pendirian perusahaan offshore adalah praktik lazim dalam aktivitas bisnis lintas negara. Karena itu, dibutuhkan penelitian dan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan apakah perusahaan offshore tersebut bagian dari modus penghindaran pajak.

 Kedua, data tersebut adalah data dengan rentang waktu yang cukup lama. Dari sisi regulasi perpajakan Indonesia, sebagian data dalam Panama Papers sudah tidak lagi relevan, baik karena masa daluwarsanya yang sudah terlewati, maupun karena tingkat kemutakhirannya yang tak sepenuhnya dapat diandalkan.

 Hal ini tidak berarti data Panama Papers menjadi tidak berguna sama sekali. Namun, serta-merta menyimpulkan bahwa semua data dalam Panama Papers bisa dipakai secara praktis untuk memaksimalkan penerimaan negara merupakan kesimpulan yang terlalu dini.

 Karena itu, memilih sikap seimbang tetapi tetap agresif dalam memperlakukan Panama Papers dengan sendirinya tidak mengabaikan prinsip-prinsip tentang hak dan kewajiban perpajakan, baik dari sisi otoritas pajak maupun dari sisi wajib pajak, terutama dalam konteks memperbaiki kepatuhan pajak.
 
Ketiga, respons kebijakan yang agresif terhadap nama-nama warga negara Indonesia yang memiliki perusahaan offshore di negara-negara tax haven jangan sampai melupakan fokus pada perusahaan asing di Indonesia, yang juga biasa masuk ke Tanah Air melalui perusahaan offshore di negara tax haven.

Wake-up Call

Sinyalemen yang diungkapkan Menteri Keuangan tentang adanya ribuan perusahaan penanaman modal asing di Indonesia yang tidak membayar pajak selama bertahun-tahun operasinya harus ditindaklanjuti secara serius dan hati-hati. Sinyalemen ini tentu perlu diperjelas dengan upaya yang lebih sistematis.

Di sinilah kemudian pokok kehati-hatian yang keempat, yaitu persiapan yang lebih bersifat struktural lewat pendekatan kebijakan yang sistematis dan terukur. Panama Papers adalah wake-up call yang harus direspons secara memadai.

Dalam hal ini, jangan lupakan persiapan penerapan kebijakan tax amnesty, persiapan kebijakan pertukaran data perbankan antarnegara, serta skema kerja sama yang lebih erat antarinstansi pemerintah guna mengoptimalkan penerimaan pajak.

Selain itu, perlu juga untuk membuat ketentuan tentang general anti-avoidance rule (GAAR), termasuk di dalamnya mandatory disclosure rule atas perencanaan pajak yang agresif serta merevisi berbagai aturan tentang specific anti-avoidance rules (SAAR).

Selain itu, program pengampunan pajak harus segera dilaksanakan di tahun ini. Panama Papers sesungguhnya hanyalah simulasi dari apa yang akan terjadi di era keterbukaan informasi yang akan dimulai di tahun 2017.

Di mana data atas kepemilikan aset akan menjadi mudah diakses oleh otoritas pajak. Uluran tangan pemerintah untuk mengampuni pengungkapan data dan repatriasi aset justru menjadi relevan.

Sampai di sini, rasanya kita berharap bahwa pemahaman yang mendalam dan prinsip kehati-hatian dalam menangani kasus ini tentu akan berdampak besar terhadap perbaikan kinerja perpajakan nasional.

 

Penulis

Darussalam

Managing Partner Danny Darussalam Tax Center

Lulusan S2 Hukum Pajak Internasional Tilburg University Belanda

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini