Sukses

Sinar Mas Kembangkan 3 Tanaman Lokal untuk Bahan Baku Pulp

Pemasok bahan baku kertas Asia Pulp & Paper (APP), Sinar Mas Forestry tengah mengembangkan tiga jenis tanaman baru khas lokal,

Liputan6.com, Jakarta - Pemasok bahan baku kertas Asia Pulp & Paper (APP), Sinar Mas Forestry tengah mengembangkan tiga jenis tanaman baru khas lokal, yakni tanaman Meranti Kuning, Geronggang dan Belangeran sebagai alternatif bahan baku bubur kertas atau pulp. Spesies tersebut disiapkan untuk mengantisipasi moratorium penanaman pohon akasia (Acacia Crassicarpa) di lahan gambut meski akan berimbas pada bisnis perusahaan.

“Tanaman Meranti Kuning, Geronggang, dan Belangeran dikembangkan sebagai back up atau cadangan jika nantinya kita tidak boleh lagi menanam akasia di areal gambut,” tegas Peneliti Senior Pengembangan dan Riset Sinar Mas Forestry, A. Bambang Herdyantara saat berbincang dengan wartawan di kantor R&D Sinar Mas Forestry, Perawang, Kabupaten Siak, Riau, Jumat (3/6/2016).

Dia berkeyakinan rencana kebijakan pelarangan menanam spesies akasia di lahan gambut semakin nyata. Saat ini, pemerintah masih membahasnya bersama DPR RI. Kebijakan tersebut keluar bukan tanpa alasan. Yang paling mendasari adalah bencana kebakaran hutan pada tahun lalu, dan menjadi sorotan dari dunia luar.

“Kita yakin suatu saat akan muncul moratorium itu. Keyakinan ini semakin nyata, karena banyak sekali tekanan untuk melakukan moratorim akasia di lahan gambut. Alasannya, karena kebakaran hutan di 2015 dan tidak terjadi monokultur tanaman, sehingga semua beralih ke situ (akasia). Alasan yang kedua tidak masuk akal, tapi yang menyuarakan pemerintah, mau bagaimana lagi,” jelas Bambang.

Dia mengaku, dua tanaman utama bahan baku pulp dan kertas, yakni akasia dan ekaliptus (Eucaplyptus) merupakan bersifat invasif dan termasuk spesies asing (exotic) karena bukan berasal dari Indonesia. Dengan begitu, akan menjadi bumerang bagi perusahaan bila mengembangkan tumbuhan tersebut.

“Ancaman yang datang adalah kalau membawa jenis penyakit dari luar negeri masuk ke sini akan menyerang semuanya. Sebanyak 10 persen atau sekitar 2 ton benih akasia berasal dari impor,” terangnya.

Peralihan pasokan bahan baku dari akasia ke tiga tanaman lokal, diakui Bambang, akan memberikan dampak besar terhadap bisnis perusahaan. Pasalnya, dari sisi produktivitas, tiga spesies baru itu tidak mampu menyaingi akasia dan ekaliptus.

“Sebanyak 3-4 meter kubik kayu akasia dan ekaliptus dapat menghasilkan 1 ton pulp atau bubur kertas, sedangkan tiga tanaman lokal ini lebih banyak memakan bahan baku, di mana untuk hasilkan 1 ton pulp butuh lebih dari 5 meter kubik kayu. Imbasnya ke biaya jadi besar,” ucap Bambang.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 2 halaman

Dipanen dalam Kurun Waktu 5 Tahun

Research and Development APP Sinar Mas (Foto: Fiki/Liputan6.com)Diterangkannya, akasia dapat dipanen dalam kurun waktu 5 tahun. Sementara Meranti Kuning, Geronggang, dan Belangeran mempunyai masa panen lebih lama rata-rata 7 sampai 10 tahun. Hal ini akan mengganggu produksi pulp dan kertas Sinar Mas.

“Pabrik kan kita setting untuk rotasi dari masa tanam sampai panen 5 tahun. Tapi kalau digeser jadi 7-10 tahun, pasti suatu saat di pabrik tidak ada bahan baku dan akhirnya tidak bisa produksi. Makanya kita mau bikin untuk tiga tanaman ini bisa dipanen tidak jauh beda dengan akasia dan ekaliptus,” cetusnya.

Meski demikian, tanaman lokal itu memiliki kelebihan dibanding akasia. Meranti, Geronggang, dan Belangeran dapat bertahan di area lahan yang tergenang air. Sementara perusahaan harus mengatur tinggi rendahnya air untuk penanaman pohon akasia, paling dalam 120 cm dengan usia 1 tahun ke atas. Sedangkan aturan main dari pemerintah paling dalam 25 cm, sehingga akasia tidak bisa hidup dengan kedalaman air sebesar itu.

"Kita sudah lama meneliti tanaman lokal itu mulai di tahun 1990-an. Sekarang sih masih berupa bibit saja," ujar Bambang.

Kata Bambang, APP – Sinar Mas Forestry menganggarkan investasi pengembangan dan riset di Riau sekitar US$ 3 juta atau setara dengan Rp 39 miliar pada tahun ini. Jumlah tersebut naik hampir 2 kali lipat dibanding tahun sebelumnya.

“Wah, investasi di R&D tahun ini paling tinggi dalam sejarah. Biasanya tidak sampai segitu,” pungkasnya.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.