Sukses

Dampak Brexit Bayangi Pasar Keuangan Indonesia

Investor merespons negatif keputusan masyarakat Inggris keluar dari Uni Eropa.

Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat Inggris memutuskan keluar dari Uni Eropa atau Britain Exit/Brexit dalam referendum Inggris pada 23 Juni 2016. Keputusan Inggris tersebut pun membuat pasar global bergejolak.

Mata uang Inggris pound turun lebih dari 10 persen terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Bahkan penurunan pound terendah dalam 30 tahun. Investor merespons negatif keputusan masyarakat Inggris itu lantaran khawatir dapat memukul investasi di negara dengan ekonomi terbesar kelima di dunia tersebut. Apalagi London juga termasuk salah satu pusat keuangan dunia.

Tak hanya itu, bursa saham Eropa pun turun lebih dari 8 persen pada awal perdagangan. Penurunan itu terbesar dalam satu hari. Kapitalisasi pasar di sektor bank susut. Saham Bank of Scotland, Barclays, dan Llyods mencatatkan penurunan terbesar.

Kemudian di bursa Asia, indeks saham acuan cenderung tertekan. Indeks saham Jepang Nikkei mencatatkan penurunan terbesar mencapai 7,92 persen. Disusul indeks saham Korea Selatan Kospi melemah 3,09 persen.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun ditutup susut 39,74 poin atau 0,82 persen ke level 4.834,56. Indeks saham LQ45 melemah 0,77 persen ke level 824,61. Seluruh indeks saham acuan kompak melemah.

IHSG sempat turun 2,28 persen atau 110,94 poin ke level 4.763,36 pada penutupan sesi pertama jelang pengumuman voting referendum Inggris. Posisi nilai tukar rupiah pun melemah ke level 13.411 per dolar Amerika Serikat (AS).

Lalu melihat kondisi itu, bagaimana dampak keluarnya Inggris dari Uni Eropa ke ekonomi Indonesia?

Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA) David Sumual menuturkan, Inggris memutuskan keluar dari Uni Eropa atau Britain Exit/Brexit membuat para pelaku pasar memburu investasi aman antara lain yen dan emas. Hasil referendum Inggris juga mendorong pasar global alami volatilitas antara lain mata uang terutama persemakmuran Inggris mengalami penurunan terbesar.

David menilai, sentimen Brexit juga berdampak ke pasar keuangan Indonesia. Nilai tukar rupiah pun melemah ke level 13.400. Akan tetapi, David menilai penurunan rupiah tidak terlalu dalam dibandingkan negara lain seperti Afrika Selatan. "Ini lebih berdampak ke sektor keuangan," tegas David.

Indonesia juga tidak terlalu memiliki hubungan perdagangan terlalu besar dengan Inggris. "Nilai perdagangan antara Indonesia dan Inggris hanya 0,9 persen. Ke Eropa sekitar 10 persen jadi kecil. Kekhawatiran orang lebih ke dampak second run effect dari keluarnya Inggris dari Uni Eropa," kata David.

David menuturkan, ada kekhawatiran likuiditas makin ketat di bank-bank global. Hal ini dapat mempengaruhi pasar global ke depan.

"Ada kekhawatiran bank-bank di sana, mereka juga saling curiga. Ada warisan dari krisis 2008 adanya aset-aset bermasalah sehingga dapat menimbulkan masalah likuiditas ke depan. Seperti tahun 2008 ada Lehman Brothers," jelas David.

David menilai, ada keputusan Inggris keluar dari Uni Eropa juga positif untuk emerging market. Lantaran bank sentral Amerika Serikat (AS) akan mempertahankan suku bunganya karena situasi ekonomi global terutama dari Inggris dan ekonomi AS masih lemah.

Meski demikian, David mengingatkan agar Bank Indonesia (BI) dan pemerintah tetap waspada mengantisipasi situasi ekonomi global. Hal ini juga telah dilakukan dengan BI akhirnya menurukan suku bunga acuan menajdi 6,5 persen.

"Kita memang tidak bisa lepas dari globalisasi. Kalau domestik kita baik-baik saja tetapi global tidak kondusif maka berdampak ke Indonesia. Kita harus hati-hati," tegas David.

David menambahkan, Inggris keluar dari Uni Eropa ini dapat menimbulkan kekhawatiran cukup lama terutama dampak politiknya. United Kingdom terdiri dari Inggris, Irlandia dan Skotlandia juga dapat pecah. Lantaran Skotlandia dan Irlandia yang tetap ingin di Uni Eropa sedangkan Inggris keluar dari Uni Eropa. "Irlandia dan Skotlandia bisa lepas dari United Kingdom, dan ini bisa kembali timbulkan gejolak," kata David.

David menambahkan,masyarakat Inggris ingin keluar dari Uni Eropa lantaran mendapatkan hambatan dari UE. "Banyak aturan dikontrol oleh Uni Eropa. Tidak bebas tentukan aturan antara lain flow barang, jasa. Belum lagi sentimen imigran," ujar David. (Ahm/Ndw)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini