Sukses

Pengusaha Usul Dana Jaminan Proyek Listrik 35 Ribu Mw Turun

Penurunan dana jaminan ini khusus untuk perusahaan yang sahamnya sebesar minimal 51 persen dimiliki pengusaha lokal.

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Produsen Listrik Swasta (APLSI) sejalan dengan ide pemerintah soal penurunan dana jaminan (Project Development Account)  sebesar 10 persen menjadi 5 persen pada proyek listrik 35.000 megawatt (MW).

Bahkan, bila perlu pengusaha mengusulkan dana jaminan turun kembali hanya  menjadi 1 persen. Namun ini khusus untuk perusahaan yang sahamnya sebesar minimal 51 persen dimiliki pengusaha lokal.

Ketua Harian APLSI Arthur Simatupang menilai penyederhanaan aturan ini dapat mempercepat program pembangkit listrik 35.000 MW.

“Sebab kebanyakan masalah kelambatan proyek ini salah satunya di kewajiban ini (10 persen) terlalu berat. Bahkan kita mengusulkan kalau perlu untuk perusahaan yang minimal 51 persen sahamnya dimiliki oleh pengusaha lokal cukup menyerahkan dana jaminan sebesar 1 persen,” ujar Arthur di Jakarta dalam keterangannya, Kamis (14/7/2016).

Guna mendorong partisipasi kontraktor atau pengusaha lokal lebih besar lagi, menurut dia, sebaiknya diberikan insentif dengan menurunkan dana jaminan. Semakin besar saham yang dimiliki pengusaha lokal di salah satu pembangkit semakin kecil dana jaminan yang diwajibkan.

Sebaliknya, untuk pembangkit yang sebagian besar sahamnya dimiliki kontraktor asing dan investor kakap tetap sebesar 10 persen. “Dengan cara begini, akan mempercepat partisipasi usahawan lokal dan mendorong investor asing bermitra dengan lokal,” ujar dia.

Arthur mengatakan, gagasan mempermudah persyaratan dan administrasi bagi kontraktor lokal dalam mengakses ke pembangkit listrik  sebaiknya perlu segera ditindaklanjuti  PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).

PLN memperketat persyaratan bagi peserta tender proyek 35.000 MW untuk mencegah pembangkit-pembangkit listrik mangkrak di Fast Tracking Project (FTP). Dana jaminan pelaksanaan yang sebelumnya hanya 1 persen kemudian naik menjadi 10 persen dari total nilai proyek. Tak hanya itu, bila dalam 1 tahun kontraktor tidak mengerjakan pembangkit, dana jaminan tersebut akan diambil alih oleh PLN.

Namun, akibat kebijakan itu, perkembangan proyek 35.000 MW berjalan lamban selama semester I-2016. Bahkan Presiden Joko Widodo mengevaluasi program tersebut sebab dinilai eksekusinya tidak menunjukkan kemajuan.

Presiden meminta agar lembaga terkait mengevaluasi mulai dari proses tender, pembiayaan, hingga rencana pengelolaannya di PLN. Ditemukan, salah satu penghambat laju eksekusi program tersebut yakni tingginya dana jaminan sebesar 10 persen.

Kementerian ESDM kemudian meminta PLN untuk meringankan beban kontraktor soal dana jaminan sebesar 10 persen menjadi 5 persen di proyek listrik 35.000 MW. Ini mengingat beban keuangan kontraktor sudah cukup berat sebab harus mencari lebih banyak dana untuk membangun pembangkit listrik.

“Dengan membayar dana jaminan 10 persen, keuangan kontraktor makin terbebani dan dapat menghambat proses pembangunan. Sebab itu, gagasan pemerintah ini sebaiknya PLN segera merevisi persyaratan itu,” ujar Arthur.

Arthur menambahkan, kebijakan 10 persen jaminan ini juga sama saja dengan menutup ruang bagi partisipasi kontraktor lokal dan membuka pintu masuk yang sangat luas hanya bagi investor atau kontraktor asing serta pemodal besar. “Sedangkan kita mau pelaku usaha lokal ikut berpartisipasi di proyek ini,” imbuh dia.

PLN Harus Jadi Kepanjangan Tangan Pemerintah

Sementara itu Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menilai proyek listrik 35.000 MW seperti jalan di tempat. Penerbitan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 juga belum mampu mendorong percepatan pengadaan listrik nasional ini.

Dia menyoroti, mega proyek ini jalan di tempat lantaran PLN seringkali berubah-ubah terkait kebijakan lelang pembangkit. Misal, pembatalan lelang proyek PLTU Jawa 5 yang rencananya dibangun di Serang sebesar 2.000 MW yang merupakan bagian dari program 35.000 MW.

Komaidi menilai, pembatalan jadi preseden buruk bagi keberlanjutan pelaksanaan program raksasa itu. PLN juga tidak transparan dan proses lelang yang tidak wajar.

Misalnya, dalam kasus IPP Scatered dan IPP di Pontianak, asumsi ICP (Indonesia Crude Price) dinilai tidak realistis. Dalam kasus ini, PLN menetapkan perubahan ICP dari US$ 28 menjadi US$ 40 dalam waktu dua hari saja.

"Pembatalan proses lelang yang sedang berjalan atau bahkan telah diputuskan akan memunculkan keraguan investor, baik yang akan masuk maupun yang telah terlibat," tegas dia.

Hal lain yang disorot Komaidi, PLN diminta tidak bertindak hanya dalam perspektif korporasi tetapi juga perlu bertindak sebagai kepanjangan tangan pemerintah.

"Kalau pakai pendekatan sama tidak bisa selesai. Pemerintah harus memberikan penugasan ekstra ke PLN, belum lagi jika diserahkan murni ke PLN, dari ukuran korporasi, PLN tidak akan mampu," tegasnya.(Nrm/Zul)



 


* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini