Sukses

Isu Kenaikan Harga Rokok Motif Perang Dagang?

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat meminta penetapan kenaikan harga rokok harus harus melalui kajian dan pertimbangan matang. Hal tersebut agar industri tembakau nasional tak terus terpojokkan dengan berbagai isu yang ada. 

Pengamat Hukum Gabriel Mahal menilai, desakan menaikkan harga rokok menjadi lebih mahal semata-mata motif agenda perang dagang dengan industri farmasi global.

Menurut dia, salah kaprah jika kemudian harga rokok Indonesia dibandingkan dengan Singapura yang tidak memiliki kepentingan apapun terhadap tembakau apalagi negara itu juga tidak punya petani tembakau.

Meski tak punya kepentingan terhadap tembakau, di Singapura memiliki fasilitas perokok. Kemudian di Jepang ikut menyiapkan lokasi merokok di kereta, bahkan di stasiun terdapat gerbong khusus untuk perokok. "Orang boleh merokok dan disiapkan khusus tempat nyaman sampai korek apinya. Sementara di Indonesia, industri hasil tembakau dipojokkan," ujar dia, Rabu (31/8/2016).

Menurut dia, beberapa tudingan terhadap industri tembakau sangat tendensius. "Di situ saya kira kita harus sangat kritis terhadap klaim seperti itu," dia menjelaskan.

Ia turut mewanti-wanti, salah satu poin dalam regulasi FCTC yakni keharusan pemerintah untuk menggunakan produk nikotin sintesis untuk terapi. Hal ini dikatakan akan menambah beban negara dari impor. Padahal, dana itu dari APBN bersumber dari pajak.

Gabriel juga melihat niat pemerintah untuk mengkampanyekan dampak negatif tembakau di sekolah-sekolah sebagai bagian dari strategi untuk menjaring konsumen nikotin replacement dalam jangka panjang.

Sementara dorongan kelompok anti tembakau supaya harga rokok mencapai Rp 50 ribu-Rp 100 ribu agar harga rokok bisa mendekati produk nicotine replacement theraphy (NRT) yang saat ini beredar di pasar di kisaran harga Rp 58 ribu sehingga produk itu bisa kompetitif dengan harga rokok masih diragukan.

Gabriel mengakui dalam pasal 6 FCTC menyebutkan menaikan harga dan cukai pasti berdampak terhadap kurangnya permintaan tembakau hingga harga rokok jadi mahal dan orang tidak lagi mudah membeli rokok. Keadaan ini memaksa orang berhenti merokok. Dengan berhenti merokok, orang akan merasa menjadi sehat. Asumsi tersebut yang diragukan oleh Gabriel.

Menurut laporan World Smoking-Cessation Drug Market 2010-2025, diprediksi 15 tahun ke depan pertumbuhan menyeluruh dari pemasaran produk-produk NRT akan meningkat yang dikontribusi oleh kelompok negara Brazil, Rusia, India, Cina, dan Indonesia.

Hampir separuh perokok dunia tinggal di wilayah BRIC ini, tetapi kelompok negara ini termasuk berpendapatan perkapita rendah hingga daya beli terhadap obat-obat NRT saat ini masih rendah.

Kepentingan di balik strategi peningkatan harga dan pajak cukai, diimbangi dengan produk NRT, tidak lain daripada kepentingan dagang.

Sebelumnya Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Soeseno mengatakan, isu kenaikan harga rokok menjadi Rp 50 ribu merusak harga jual tembakau.

Dia mengatakan para tengkulak menakuti petani dengan menyatakan hasil tembakaunya tidak akan diserap industri. Hal ini karena harga produk rokok yang naik akan membuat industri menurunkan kapasitas produksinya. (Nrm/Gdn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Terkini