Sukses

Harapan Petani Terkait Kenaikan Cukai Tembakau

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan kenaikan tarif cukai tembakau pada Jumat lalu.

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan kenaikan tarif cukai tembakau untuk 2017 pada Jumat lalu. Kenaikan rata-rata tertimbang cukai tembakau 10,54 persen dengan kenaikan tarif tertinggi untuk rokok Sigaret Putih Mesin (SPM) sebesar 13,46 persen. 

Hal utama yang menjadi pertimbangan kenaikan ini adalah pengendalian produksi, tenaga kerja, rokok ilegal, dan penerimaan cukai. Penerimaan negara dari cukai sebesar 94,66 persen disumbang dari cukai tembakau.

Kenaikan tarif cukai tembakau ini menimbulkan kekecewaan bagi petani dan pekerja tembakau. Seperti disampaikan oleh Budidoyo Siswoyo, Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) kepada liputan6.com, kenaikan ini dikhawatirkan akan menambah beban bagi petani dan pekerja di industri rokok yang tengah mengalami tren penurunan dalam tiga tahun terakhir.

“Masalah yang dihadapi petani ini juga menyangkut nilai tambah dan tata niaga di lapangan. Hasil tembakau petani bisa melewati empat sampai lima pintu untuk sebelum sampai ke pabrik," kata Budidoyo seperti ditulis Selasa (4/10/2016).

Penerimaan negara dari cukai tembakau sangat tinggi, tapi belum memberikan kesejahteraan bagi petani, buruh kecil, dan masyarakat.

Karena itu tak heran jika pemerhati kesehatan dan pemimpin Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Manusia Universitas Indonesia (PKEKKFKM UI) Hasbullah Thabrany mengusulkan agar pemerintah mengalokasikan 40-50 persen dana cukai untuk jaminan kesehatan penduduk sektor informal.

“Idealnya naikkan alokasi cukai untuk JKN berkualitas bagus hingga 20 persen secara berkelanjutan selama 10 tahun," kata Hasbullah Thabrany dalam workshop “Membongkar Hambatan Aksesi FCTC dan Mitos Rokok di Indonesia” yang diselenggarakan oleh AJI Jakarta pada 30 September-2 Oktober 2016.

Sejalan dengan itu, penggiat Perokok Bijak, Suryokoco, juga sepakat alokasi cukai tembakau untuk kesehatan. Dia mencontohkan dengan penerimaan cukai tembakau pada 2015 mencapai Rp 139,5 triliun, pemerintah bisa menanggung iuran BPJS kelas 3 seluruh penduduk.

Hal tersebut dengan asumsi 255 juta penduduk dikalikan iuran BPJS sebesar Rp 30.000 per bulan, maka dibutuhkan sekitar Rp 91,8 triliun.

Namun hingga kini, aturan yang resmi tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 hanya memuat soal Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau sebesar 2 persen.

Dana tersebut disalurkan ke daerah-daerah penghasil tembakau untuk mengatur penggunaannya yang meliputi peningkatan kualitas bahan baku, pembinaan industri, pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan cukai dan pemberantasan barang kena cukai ilegal.



Di antara lima peruntukan tersebut hanya kegiatan pembinaan lingkungan sosial yang mengamanatkan adanya perlindungan bagi warga terhadap dampak negatif produk hasil tembakau.

Hal tersebut kemudian dimuat dalam Buku Panduan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau di Bidang Kesehatan yang dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan pada 2012.

Anggaran kesehatan yang dialokasikan dari hasil cukai tembakau sudah seringkali didengungkan. Pembahasan untuk menaikkan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau menjadi 20 persen sudah masuk dalam pembicaraan di DPR.

Kini kita menunggu kebijaksanaan Pemerintah terkait pertembakauan ini dengan segala nilai keuntungan dan dampak kesehatannya. (Rina/Gdn)

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.